Nasional

27 Tahun Tragedi Semanggi I, Savic Ali: Api Perlawanan Harus Tetap Hidup di Setiap Generasi

Kamis, 13 November 2025 | 18:45 WIB

27 Tahun Tragedi Semanggi I, Savic Ali: Api Perlawanan Harus Tetap Hidup di Setiap Generasi

Aktivis Reformasi 1998 Savic Ali saat menyampaikan Kuliah Jalanan di tengah massa Aksi Kamisan Ke-886, di depan Istana Merdeka, Jakarta, pada Kamis (13/11/2025). (Foto: NU Online/Suwitno)

Jakarta, NU Online

Aktivis Reformasi 1998 Mohamad Syafi’ Alielha (Savic Ali) menegaskan bahwa api semngat perlawanan harus tetap hidup dan tak boleh padam di setiap generasi.


Sebab menurutnya, cita-cita Reformasi yang diperjuangkan mahasiswa pada 1998 kini kian memudar, terutama setelah pemerintah menobatkan Soeharto sebagai Pahlawan Nasional.


“Persis 27 tahun setelah peristiwa Semanggi. Tapi saya kira apa yang terjadi beberapa hari ini tidak mewakili kemenangan Reformasi. Karena presiden kita menobatkan Soeharto sebagai Pahlawan Nasional. Itu berarti menegasikan seluruh perjuangan jutaan rakyat Indonesia tahun 1998,” ujar Savic saat menyampaikan Kuliah Jalanan di Aksi Kamisan Ke-886, di depan Istana Merdeka, Gambir, Jakarta Pusat, Kamis (13/11/2025).


Savic menilai, penetapan Soeharto sebagai Pahlawan Nasional menunjukkan bahwa negara menutup mata terhadap sejarah kelam pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dan kejahatan kekuasaan selama 32 tahun pemerintahan Orde Baru.


Ia menyebut, Soeharto telah melakukan berbagai bentuk kejahatan, mulai dari politik, kemanusiaan, ekonomi, hingga budaya.


“Soeharto membatasi kebebasan politik, memenjarakan banyak orang, melakukan pelanggaran HAM, dan membiarkan KKN merajalela. Bahkan, di masa pemerintahannya, masyarakat Tionghoa tidak bisa merayakan Imlek atau belajar bahasa Mandarin. Ia nyaris melakukan kejahatan di semua sektor,” jelas Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) itu.

Savic Ali saat menyampaikan Kuliah Jalanan dalam Aksi Kamisan Ke-886, di depan Istana Merdeka, Jakarta, pada Kamis (13/11/2025). (Foto: NU Online/Suwitno) 

Dalam kesempatan itu, Savic juga mengulas kembali konteks sejarah Tragedi Semanggi I yang terjadi pada November 1998.


Peristiwa tersebut berawal dari aksi mahasiswa yang menolak Sidang Istimewa MPR pada enam bulan setelah Soeharto turun. Mahasiswa saat itu menuntut Reformasi total dan menolak warisan institusional Orde Baru yang masih kuat di masa pemerintahan Presiden BJ Habibie.


“Waktu itu kami menolak sidang istimewa karena semua anggota parlemen masih orang-orang Orde Baru. Di berbagai titik, termasuk Jalan Proklamasi dan Sudirman, kami bentrok dengan PAM Swakarsa. Aparat membiarkan kekerasan terjadi, bahkan ikut melakukan penembakan terhadap mahasiswa,” kenang Savic.


Ia menceritakan, aparat keamanan saat itu menggunakan senjata laras panjang dan menembaki massa aksi di sekitar Kampus Atma Jaya.


“Saya sendiri menyaksikan teman di sebelah saya roboh dan berdarah. Saya kenal banyak korban, di antaranya Wawan, Heru, Engko, dan Sigit. Mereka teman seperjuangan yang biasa rapat dan nongkrong bersama,” ujarnya dengan nada berat.


Tragedi Semanggi I menewaskan sedikitnya 17 orang, tetapi Savic meyakini jumlah korban sebenarnya lebih banyak. Ia menuturkan kisah ganjil tentang seorang mahasiswi yang kesurupan dan mengaku bernama Christine Niki Julong, nama yang kemudian diketahui sebagai salah satu korban di RSCM, tetapi jasadnya tidak ditemukan.


“Artinya bisa jadi banyak korban yang tak tercatat, mahasiswa yang tidak pulang, dan orang tua yang tak pernah tahu nasib anaknya,” ujarnya.


Savic menilai, tidak adanya proses hukum terhadap pelaku penembakan menunjukkan kuatnya budaya impunitas dalam sistem hukum Indonesia. Ia juga mengingat pernyataan Panglima ABRI saat itu, Wiranto, yang menuduh mahasiswa melakukan makar.


“Seluruh berkas sudah kami serahkan ke Komnas HAM dan Kejaksaan, tapi tidak pernah ada tindak lanjut. Ini menunjukkan bahwa kekuasaan hari ini masih bercermin pada Orde Baru,” katanya.


“Kami dituduh makar karena ingin menggagalkan Sidang Istimewa, dan karena makar dianggap boleh ditembaki. Tidak ada penyesalan atau pengakuan bersalah dari negara. Ini karakter kekuasaan yang menolak mengakui kesalahan,” tambahnya.


Savic menegaskan pentingnya generasi muda untuk terus menulis dan menceritakan kebenaran sejarah reformasi, sebab peristiwa itu nyaris tak pernah diajarkan di sekolah.


“Reformasi tidak pernah diajarkan di sekolah, padahal kita harus tahu kenapa militer tidak boleh terlibat dalam urusan sipil. Kalau rakyat lupa, sejarah bisa berulang,” tegasnya.


Ia pun berharap semangat perjuangan dan keberanian generasi 1998 tetap diwariskan kepada generasi berikutnya.


“Semoga api perlawanan kita tetap hidup, karena Indonesia tidak akan benar dengan sendirinya. Indonesia hanya akan benar jika diperjuangkan oleh setiap generasi pada zamannya,” pungkas Savic.