Nasional

4 Langkah Cegah Kekerasan Fisik dan Seksual di Lingkungan Pesantren

Jumat, 14 November 2025 | 14:00 WIB

4 Langkah Cegah Kekerasan Fisik dan Seksual di Lingkungan Pesantren

Gambar hanya sebagai ilustrasi berita. (Foto: freepik)

Cirebon, NU Online

Pengasuh Pondok Pesantren Kebon Jambu Al-Islamy, Ciwaringin, Cirebon, Nyai Hj Masriyah Amva menyebutkan empat langkah untuk mencegah kekerasan, baik fisik maupun seksual, di lingkungan pesantren.


Pertama, pembentukan standar operasional prosedur (SOP) perlindungan santri yang jelas dan bisa diakses seluruh warga pesantren. SOP ini harus mencakup alur pelaporan, jenis pelanggaran, serta sanksi bagi pelaku tanpa pandang bulu.


“Aturan itu bukan hanya ditempel di papan, tetapi harus disosialisasikan dan dipahami, dan yang tidak kalah penting adalah harus ditaati seluruh yang ada di pesantren,” ujarnya kepada NU Online di Pondok Pesantren Kebon Jambu Al-Islamy, Kamis (13/11/2025).


Kedua, membangun unit aduan yang mudah diakses bagi santri. Unit aduan dapat terdiri dari unsur perempuan, pengasuh, hingga psikolog.


Menurut Nyai Masriyah, kehadiran figur perempuan sangat penting, karena banyak korban merasa lebih aman bercerita kepada pihak yang dapat memberikan empati dan perlindungan emosional.


“Terkadang korban lebih merasa aman kalau cerita kepada perempuan, seperti kepada Bu Nyai atau kepada mamanya ketika pulang ke rumah. Ini menandakan bahwa figur perempuan berpengaruh besar,” katanya.


Ketiga, pendidikan kesadaran gender dan nilai kesetaraan kepada seluruh santri dan pengurus. Menurutnya, kekerasan sering terjadi karena pemahaman agama yang dipelintir dan budaya senioritas yang dibiarkan.


“Agama tidak pernah mengajarkan kekerasan. Yang perlu dibenahi adalah pemikiran masyarakat yang kerap keliru. Islam itu ramah bukan marah, bukan juga yang nafsu syahwat,” kata A’wan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) itu.


Keempat, pengawasan ruang-ruang potensial kekerasan, seperti kamar, asrama, dan area tertutup. Pesantren wajib memiliki sistem pengawasan yang transparan agar ruang penyalahgunaan kuasa dapat diminimalkan.


“Para musyrif dan musyrifah ini yang menjadi pengawas Ketika santri di kamar, guru ketika belajar di sekolah dan masjid, dan tentu pengasuh mengawasi di setiap area yang ada di lingkungan pesantren,” ucapnya.


Ia berharap seluruh pesantren di Indonesia berkomitmen memperkuat perlindungan santri dan memastikan tidak ada lagi kekerasan yang ditutup-tutupi atas nama tradisi atau kewibawaan pengasuh.


“Pesantren harus menjadi ruang aman kepada perempuan, ramah kepada anak, agar tumbuhnya generasi berakhlak dan bisa membawa kebaikan bagi bangsa negara,” pungkas Nyai Masriyah.