Pontianak, NU Online
Korps Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia Putri (Kopri) Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Pontianak melaksanakan Simposium Sekolah Islam Gender (SIG) yang ke II di aula Syekh Abdurrani IAIN Pontianak, Ahad (17/10/21). Hadir sebagai narasumber yaitu Syarifah Aryana Kaswamayana dan perwakilan Dinas Pengendalian Penduduk Keluarga Berencana, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Kota Pontianak, Drg Multi J Bhatarendo.
Ketua panitia pelaksana, Rahmi menyampaikan, SIG yang mengusung tema Isu Kekerasan Seksual di Era Digital ini bertujuan menanamkan pemahaman kader tentang pentingnya mengedukasi masyarakat mengenai persoalan Isu kekerasan seksual, terutama kejadian-kejadian pelecehan seksual yang dinormalisasi oleh masyarakat awam.
Drg Multi J memaparkan, untuk mengawal isu kekerasan seksual harus dimulai dari pendidikan keluarga, yaitu sejak anak berusia 7-14 tahun, bagaimana memberitahu kepada anak bagian-bagian tubuh yang tidak boleh disentuh oleh orang lain, hingga ketika anak sudah beranjak dewasa mulai diberi pemahaman mengenai kebersihan alat reproduksi dan hal-hal yang berhubungan lainnya.
“Kalian para Kopri yang insyaallah akan menjadi seorang ibu, perlu mengedukasi kepada anak-anak kelak menggunakan bahasa sesuai dengan usianya, demi mencegah kekerasan seksual sejak dini, setidaknya anak-anak ketika beranjak dewasa bisa paham dan melindungi dirinya sendiri,” ungkapnya.
Multi J juga menyampaikan, bahwa pendidikan akhlak dan pemahaman agama penting diajarkan di dalam keluarga. Upaya menekan kasus kekerasan seksual terhadap perempuan memang perlu terus dilakukan, karena banyaknya kasus ini.
“Kalau tidak bisa bersuara dan mencegah secara langsung, ya dimulai dari menanamkan akhlak dan agama di dalam keluarga, makanya para kopri harus jadi perempuan cerdas, karena perempuan madrasah pertama bagi anaknya,” katanya.
Sementara itu, Aryana aktivis PMII memaparkan, hal lain yang bisa dilakukan adalah pemanfaatan media. Ini sebagai jembatan untuk Kopri dalam menangkal kekerasan seksual. Kasus-kasus kekerasan seksual kerap kali terjadi di sejumlah daerah.
“Ketika kita berbicara isu kekerasan seksual, perempuan sering menjadi korban, dan sangat disayangkan mereka para korban bungkam. Kasus tersebut tidak tuntas di bawa ke ranah hukum karena kebanyakan masyarakat mengambil jalan keluar dengan pernikahan, memberi uang agar kasus selesai, serta jalan kekeluargaan lainya,”jelas Anggota Bawaslu Kalimantan Barat tersebut.
Saat ini cukup banyak aktivis yang selalu menyuarakan anti kekerasan seksual. Ini adalah satu kabar menggembirakan. Langkah atau peran yang bisa diambil oleh Kopri menguatkan ide-ide anti kekerasan seksual di media sosial secara masif.
“Perempuan saat ini punya bagian 30 persen untuk mengisi ranah politik, dan untuk ranah publik sendiri perempuan diberi kebebasan. Kadangkala kita dikasih kesempatan namun tidak maksimal, apalagi seorang mahasiswa atau aktivis memiliki hak istimewa untuk menyuarakan aspirasi,” ucapnya.
Aryana menjelaskan, Kopri sebagai bagian dari organisasi yang menjunjung tinggi nilai-nilai Islam yang ramah memiliki peran strategis dalam membantu mengurangi kasus kekerasan seksual. Karena ada ruang ruang tertentu yang tidak bisa dilakukan oleh laki-laki dalam persoalan ini.
“Sahabat dengan gelar mahasiswa saya rasa lebih luwes untuk menyampaikan hal itu. Selain dengan edukasi melalui konten media, Kopri juga bisa melakukan survei atau penelitian. Semakin banyak ruang dialektika maka akan semakin banyak solusi,” pungkasnya.
Kontributor: Siti Maulida
Editor: Syamsul Arifin