4 Lingkungan Pendidikan Anak yang Perlu Diawasi, Dunia Digital Faktor Paling Krusial
Kamis, 6 November 2025 | 17:00 WIB
Jakarta, NU Online
Kepala Bidang Advokasi Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G), Iman Zanatul Haeri menyampaikan bahwa terdapat empat lingkungan yang membentuk pendidikan anak, yaitu sekolah, rumah, lingkungan masyarakat, dan lingkungan digital yang perlu mendapat pengawasan. Menurutnya, di era saat ini, dunia digital menjadi faktor paling krusial yang memengaruhi mental dan perilaku anak.
“Ki Hajar Dewantara menyebutkan ada tiga lingkungan pendidikan untuk anak dididik, yaitu di sekolah oleh guru, di rumah oleh orang tua, dan oleh lingkungan masyarakat. Sekarang bertambah, yaitu lingkungan digital. Menurut saya yang paling krusial ini adalah lingkungan digital,” ujar Iman kepada NU Online, Kamis (6/11/2025).
Ia menyampaikan bahwa bahaya lingkungan digital saat ini semakin sulit untuk dikendalikan. Menurutnya, media sosial kerap menjadi sumber paparan emosional yang tidak sesuai usia anak, bahkan dapat memunculkan risiko gangguan kesehatan mental.
“Di dunia digital ini, sosial media banyak penelitian yang menyebutkan bahwa anak-anak akan mengalami masalah mental karena yang pertama, mereka mendapatkan stimulus emosi yang jauh dari usianya. Di usianya seharusnya jauh dari hal-hal seperti penderitaan, sakit hati, atau mencoba bunuh diri. Kalau di sosial media, aduh itu bahaya, atau jangan-jangan tutorialnya malah ada. Ini sangat tidak terkendali,” katanya.
Iman menyampaikan bahwa P2G terus mendorong adanya pembatasan penggunaan gawai di lingkungan sekolah.
“Kami di P2G sebetulnya merekomendasikan pembatasan penggunaan gadget di sekolah, walaupun kami juga inginnya seperti di Australia, anak-anak itu bisa menggunakan gadget setelah berusia 17 tahun. Bahkan di Eropa, sekolah dilarang menggunakan layar digital dan mereka kembali menulis tangan serta membaca buku cetak. Ini tindakan yang bagus,” katanya.
Harus Menjadi Perhatian Bersama
Namun, ia menilai bahwa kebijakan di Indonesia justru belum berpihak pada pengendalian digital. “Kalau di Indonesia, malah bagi-bagi TV. Kita ini sepertinya terlalu maju karena bukan hanya muridnya, tetapi gurunya juga ikut ketergantungan layar digital yang kemungkinan juga tidak terkendali. Ini menjadi konsentrasi bersama, bahwa seharusnya ada pengendalian,” ujarnya.
Iman menegaskan, perlu adanya regulasi yang lebih tegas dalam membatasi akses media sosial bagi anak di bawah umur.
“Seharusnya ada pengendalian, seperti pembatasan pembuatan akun sosial media karena anak belum cukup usia dan belum mampu mengelola emosi,” tegasnya.
Ia menyampaikan bahwa banyak penelitian yang menjelaskan dampak negatif dunia digital terhadap generasi muda. “Para peneliti menduga bahwa generasi mendatang akan banyak anak-anak yang mengalami mental illness atau penyakit mental yang disebabkan oleh dunia digital yang tidak dapat diatasi. Ini sangat berbahaya sekali,” katanya.
Lebih lanjut, Iman mengatakan bahwa dari keempat lingkungan pendidikan tersebut, pendidikan di rumah juga masih menghadapi banyak persoalan.
“Bahwa pendidikan rumah juga terkadang sudah minus. Kita belum ada jaminan bahwa pendidikan di rumah itu aman atau sesuai standar,” ucapnya.
Selain rumah, ia juga menyoroti lingkungan masyarakat yang kini banyak diisi oleh teman sebaya atau peer to peer. Lingkungan pertemanan yang tidak terkendali dinilai berpotensi memengaruhi perilaku anak tanpa pengawasan orang tua.
“Di lingkungan masyarakat ini yang sulit karena ini peer to peer, teman sebaya. Mungkin perlu kerja sama antara orang tua dengan pihak sekolah, bagaimana caranya membuat pergaulan anak kita lebih terjaga,” pungkas Iman.