4 Penyebab Masih Tingginya Perkawinan Anak di Indonesia
Sabtu, 11 November 2023 | 22:00 WIB
Jakarta, NU Online
Hingga saat ini, perkawinan anak merupakan salah satu masalah sosial yang masih terjadi di Indonesia. Mengutip data UNICEF, pada tahun 2022, prevalensi perkawinan anak di Indonesia adalah 10,7%, atau sekitar 1,8 juta anak perempuan berusia 10-17 tahun yang sudah menikah.
"Angka ini masih jauh dari target Sustainable Development Goals (SDGs) yang menetapkan bahwa tidak ada anak yang menikah sebelum usia 18 tahun pada tahun 2030," kata Sektretaris Lakpesdam PBNU, Ufi Ulfiah pada acara Seminar Capaian dan Strategi Program Pencegahan Perkawinan Anak, Rabu (8/11/2023).
Menurut Ulfi ada empat faktor yang menyebabkan perkawinan anak di Indonesia, yaitu
1. Faktor sosial budaya
Perkawinan anak masih dianggap sebagai hal yang normal dan wajar di beberapa daerah di Indonesia. Hal ini karena perkawinan anak sering dikaitkan dengan nilai-nilai adat dan agama, serta sebagai cara untuk menjaga kehormatan keluarga.
2. Faktor ekonomi
Kemiskinan dan kurangnya akses pendidikan juga menjadi faktor yang mendorong perkawinan anak. Orang tua yang miskin sering kali terpaksa menikahkan anak perempuan mereka untuk mengurangi beban ekonomi keluarga.
3.Faktor gender
Menurut Ulfi, anak perempuan sering kali dianggap sebagai beban oleh keluarga.
"Oleh karena itu, pernikahan anak dianggap sebagai solusi untuk ‘membuang’ anak perempuan dari rumah," paparnya.
4. Faktor kebijakan
Dari sisi faktor kebijakan, perkawinan anak terjadi karena adanya dispensasi perkawinan oleh Pengadilan Agama dan kenaikan usia perkawinan oleh KUA. Kebijakan yang saling bertentangan di lapangan ini menimbulkan tantangan tersendiri dalam usaha penurunan perkawinan usia anak.
"Dari pemetaan dan pelibatan lintas stakeholder yang kami lakukan ini, maka kami susun strategi hingga rencana aksinya. Semoga semuanya berjalan sesuai harapan," ujarnya.
Baca Juga
Empat Dampak Buruk dari Perkawinan Anak
Sebelumnya Ulfi menyampaikan pencegahan perkawinan anak menjadi program prioritas INKLUSI Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (Lakpesdam) PBNU. Program itu dilakukan dengan menggandeng sejumlah stakeholder sebagai komitmen mewujudkan generasi berkualitas.
Menurutnya, permasalahan perkawinan anak harus ditangani segera, karena menyangkut dengan masa depan generasi muda sebagai penerus bangsa, sehingga pencegahannya menjadi suatu keniscayaan dalam rangka menurunkan angka perkawinan anak di Indonesia.
"Kami menggandeng mitra di 6 daerah untuk memperkuat kolaborasi dengan stakeholder terkait baik dari Non Governmental Organization (NGO), Kementerian atau Lembaga negara. Semua mitra kami undang pada seminar yang akan digelar tiga hari ini,” papar Ufi.
Ufi menyebut, 6 wilayah kerja itu adalah Indramayu, Jawa Barat 2 orang; Malang, Jawa Timur 2 orang; Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat 2 orang; Lembata, Nusa Tenggara Timur 2 orang; Tojo Una-Una, Sulawesi Tenggara 2 orang; dan Sorong, Papua Barat Daya 2 orang.
Selain 6mitra, pihaknya juga menghadirkan narasumber dari Program Rumah Kita, Koalisi Perempuan Indonesia, Komisi Perlindungan Anak Indonesia Bidang Pornografi dan Cyber Crime, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Kementerian Agama, dan Peradilan Agama, Badan Peradilan Agama, MA.
Seminar tersebut berlangsung hingga Jumat (10/11/2023) dilakukan untuk meningkatkan kapasitas SDM dengan beberapa rangkaian kegiatan seperti lokakarya pelingkupan desain (design scoping), pengembangan dan finalisasi desain Key Annual Achievement (KAA), dan pengembangan rencana monitoring, evaluasi, dan pembelajaran agar program berjalan sesuai harapan.
"Pelibatan itu merupakan komitmen untuk meningkatkan pemahaman masyarakat tentang risiko dan konsekuensi terkait perkawinan anak, serta akses yang setara terhadap pendidikan dan peluang bagi anak-anak di Indonesia,” papar Ufi.