Jakarta, NU Online
Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Abdullah Ubaid Matraji menilai pelaksanaan PPDB 2023 kian buruk dibanding tahun-tahun sebelumnya. Praktik manipulasi domisili, jual beli kursi, pengurangan kuota, sertifikat prestasi abal-abal, hingga surat miskin palsu terus menjamur dan terjadi di mana-mana. Titik masalahnya ada pada tiga jalur yakni zonasi, prestasi dan afirmasi.
Menurut Ubaid, orang tua akan melakukan apa pun untuk bisa masuk lewat ketiga jalur ini. Jika mereka gagal, kata dia, terpaksa memasukkan anaknya di sekolah swasta dengan tagihan bulanan tinggi, dan beragam uang sumbangan wajib yang tak jelas pula peruntukannya.
"Inilah yang disebut sebagai pelayanan mendapatkan hak dasar pendidikan yang diskriminatif dan tidak berkeadilan," kata Ubaid kepada NU Online, Senin (10/7/2023).
Menurut Ubaid, jalur zonasi, prestasi, dan afirmasi adalah jalur tipu-tipu. Jalur ini sengaja dipasang oleh pemerintah sebagai jebakan, supaya masyarakat lupa dengan haknya. Sistem PPDB yang semacam ini jadi pemicu kisruh tiap musim awal tahun ajaran baru di sekolah.
Terkait polemik PPDB ini, Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia memberikan beberapa catatan dan rekomendasi.
Pertama, pemerintah harus bertanggung jawab, bukan malah sibuk mencari kesalahan orang tua. Selama ini yang terjadi di lapangan adalah orang tua melakukan praktik kecurangan untuk memperoleh haknya.
"Kita sepakat bahwa kecurangan itu tidak boleh dilakukan, tapi bagaimana dengan kesengajaan pemerintah dalam melepas tanggung jawab soal pendidikan?" kata Ubaid.
Mendapatkan akses ke sekolah adalah hak semua warga negara Indonesia. Pemerintah harus memastikan itu, bukan malah melakukan jalur seleksi yang menghasilkan ada yang lolos dan ada yang gagal.
Kedua, sistem seleksi PPDB tidak berkeadilan dan melanggar amanat konstitusi hal ini sesuai dengan pasal 31 ayat 2 UUD 1945 dan pasal 34 ayat 2 UU Sisdiknas bahwa pemerintah berkewajiban untuk memberikan jaminan dan kepastian semua anak Indonesia mendapatkan akses pendidikan yang layak dan berkeadilan.
"Nah, sekarang jaminan itu tidak ada, yang ada malah jaminan mayoritas pendaftar tidak lulus seleksi, karena jumlah kursi sekolah negeri tak sebanding dengan jumlah pendaftar," bebernya.
Ketiga, orang tua berhak untuk gugat pemerintah dan pihak sekolah. Berdasarkan Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata (Burgerlijk Wetboek voor Indonesie), tiap perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian itu karena kesalahannya untuk menggantikan kerugian tersebut. Kebijakan sistem seleksi ini jelas melanggar konstitusi, dan juga menimbulkan banyak kerugian yang dialami oleh siswa dan orang tua, maka orang tua berhak untuk mengajukan gugatan di meja hijau.
Keempat, ganti sistem seleksi PPDB dengan sistem undangan. JPPI, sudah punya data berapa anak usia sekolah, berapa yang lulus jenjang SD, SMP, dan SMA. Mestinya, mereka langsung diberikan undangan untuk bisa lanjut sekolah, bukan malah disuruh rebutan bangku sekolah dengan kemungkinan rata-rata kegagalannya adalah 60% di tingkat SMP dan 70% di tingkat SMA.
Contoh sederhananya adalah seperti terjadi saat musim pemilu, semua rakyat dapat undangan untuk memberikan suara di TPS, jadi tidak perlu lagi seleksi masuk TPS, karena semua punya hak yang sama.
Kelima, PPDB sistem undangan bisa diterapkan berbasis hak anak berdasarkan zonasi dan pemerataan kualitas sekolah. Supaya semua terjamin bisa mendapatkan sekolah yang layak, tentu pemerintah harus melibatkan swasta karena daya tampung negeri yang terbatas (hanya mampu menampung sekitar 40% di SMP dan 30% di SMA dari total kebutuhan).
Penerapan ini, menyaratkan dua hal utama. Pertama, kesepakatan pemerintah dan swasta soal pembiayaan yang mesti ditanggung pemerintah. Kedua, pemerataan kualitas supaya tidak terjadi penumpukan di sekolah-sekolah tertentu yang dianggap favorit/unggulan.
Kontributor: Suci Amaliyah
Editor: Aiz Luthfi