Tradisi meugang jelang ramadhan, masyarakat kota Banda Aceh antusias mengantre saat membeli daging di Jalan T. Iskandar, Sabtu 9 Maret 2024. (Foto: NU Online/Wahyu Majiah)
Jakarta, NU Online
Indonesia sebagai negara dengan keberagaman budaya dan adat istiadat menjadikan ada begitu banyak pula tradisi, khususnya dalam menyambut bulan suci Ramadhan. Seperti Nyadran, Megengan, Ruwahan, Bacoho, Meugang.
Selain itu, ada pula tradisi-tradisi lain, yang juga menyambut Ramadhan dengan kemeriahan tradisi masing-masing. Berikut tradisi menjelang Ramadhan yang dirangkum NU Online dari Kalimantan, Jambi, Sumatera, Gorontalo, Bali hingga Aceh.
1. Tanglong
Masyarakat Banjar, Kalimantan Selatan memiliki tradisi Tanglong dalam menyambut bulan suci Ramadhan. Tradisi ini dilakukan dengan iring-iringan mengenalkan budaya setempat, di antaranya permainan musik khas Banjar di atas perahu, tanglong mengajak masyarakat luas untuk melihat kembali dan memanfaatkan potensi alam berupa sungai, baik untuk keperluan transportasi, pariwisata, dan sebagainya.
Festival Tanglong bertujuan untuk menyambut malam Lailatul Qadar dengan menyalakan lampion berbagai bentuk. Sebelum pandemi berlangsung, perayaan bagarakan tanglong berlangsung meriah di berbagai kota di Kalimantan Selatan hingga rangkaian tradisi ini dikenal sebagai event wisata budaya di bulan Ramadhan.
2. Sembelih kurban
Masyarakat Melayu Jambi menyambut Ramadhan dengan membersihkan kuburan, menyembelih kerbau, dan imtihan (ujian) murid madrasah ibtidaiyah. Biasanya masyarakat melakukan iuran bersama-sama untuk membeli seekor kerbau. Daging kerbau tersebut diberikan ke masyarakat yang ikut iuran dan sebagian lainnya dimasak untuk konsumsi acara imtihan.
3. Ruwahan dan Sedekah Dusun
Ruwahan adalah salah tradisi di Sumatera Selatan yang dilakukan masyarakat menjelang bulan suci Ramadhan tepatnya di akhir Sya'ban atau 10 hari sebelum Ramadhan untuk mendoakan para leluhur yang sudah meninggal dunia.
Tak hanya tradisi ruwahan, warga juga menggelar sedekah dusun yang merupakan tradisi turun temurun masyarakat Sumatera Selatan, peninggalan Kerajaan Sriwijaya. Tujuan tradisi ini untuk memohon keberkahan pada Allah swt, mempererat silahturahmi masyarakat desa, melestarikan kebudayaan adat tradisi nenek moyang terdahulu.
Dalam prosesi ini, masyarakat yang notabene petani mengeluarkan hasil bumi mereka untuk disajikan untuk disantap bersama-sama.
4. Langgilo, Bacoho, dan Tonggeyamo
Di Gorontalo, masyarakat menyambut bulan Ramadhan dengan ragam tradisi di antaranya Langgilo, Bacoho dan Tonggeyamo. Langgilo, yaitu tradisi merendam perangkat shalat dengan wewangian yang dibuat khusus oleh warga dari bahan rempah-rempah ke dalam air hangat.
Untuk membuat ramuan Langgilo, diperlukan beberapa bahan rempah berupa jeruk, kelapa parut, daun pandan, daun kunyit, nilam, dan sereh wangi. Semuanya direbus hingga mengeluarkan aroma yang khas.
Tradisi Bacoho atau keramas rambut. Dalam tradisi Bacoho, warga Gorontalo menggunakan berbagai daun wangi sebagai sampo alami untuk membersihkan dan membuat rambut wangi di awal Ramadhan. Bacoho dimaknai sebagai pembersihan raga dalam menyambut Ramadhan, bulan yang suci dan penuh rahmat bagi umat Islam.
5. Megengan dan Megibug
Warga Muslim di Bali menggelar tradisi Megengan menjelang Ramadhan yang dilangsungkan di mushala atau masjid setempat. Megengan secara linguistik bisa diartikan menahan. Dalam konteks bulan Ramadhan, Megengan berarti menahan hawa nafsu yang terkait dengan makan, minum, dan lain sebagainya.
Tak hanya tradisi Megengan, warga Muslim Bali menggelar tradisi Megibung, yakni makan bersama dalam satu wadah (sela) yang ada dalam kehidupan masyarakat Karangasem, Bali. Tradisi makan bersama masyarakat Bali yang beragama Islam ini sudah ada sejak 1692 Masehi.
Tujuan utama dari tradisi Megibung adalah untuk menjaga, menjunjung dan menumbuhkan kebersamaan juga kesetaraan.
6. Meugang
Di Aceh, masyarakatnya menyambut bulan suci Ramadhan dengan tradisi Meugang, yaitu tradisi menyembelih kambing atau sapi yang dilakukan tiga kali dalam setahun, yaitu pada Ramadan, Idul Adha, dan Idul Fitri.
Meugang dimulai pada masa Kesultanan Aceh Darussalam, tepatnya pada masa Sultan Iskandar Muda (1607-1636 M). Melalui perintah Sultan Iskandar Muda untuk menyembelih hewan dalam jumlah banyak lalu dibagikan secara gratis kepada masyarakat. Hal ini juga dilakukan sebagai wujud syukur dan ungkapan terima kasih atas kemakmuran negeri Aceh.
7. Dhandangan
Dhandangan menjadi tradisi tahunan menjelang datangnya bulan Ramadhan di Kota Kudus, Jawa Tengah. Momentum tersebut disambut suka cita oleh masyarakat Kudus. Pasalnya dimeriahkan layaknya pasar malam yang diselenggarakan kurang lebih selama seminggu sehingga ekonomi warga menggeliat.
Penanda masuknya bulan Ramadhan itu menjadi tradisi penting bagi umat Islam di Kudus yang kehadirannya tidak lepas dari peran Sunan Kudus.
Ketua Lakpesdam PCNU Kudus, KH Nur Said menuturkan bahwa tradisi Dhandangan dicetuskan oleh Sunan Kudus. Tradisi itu bermula dari kebiasaan mendengarkan pengumuman dari sesepuh masjid Menara Kudus mengenai kapan dimulainya hari pertama puasa.
"Pengumuman itu diawali dengan pemukulan beduk yang berbunyi dhang-dhang-dhang. Bunyi beduk itulah yang memunculkan kata Dhandangan sehingga kebiasaan tersebut dikenal dengan tradisi Dhandangan,"tutur Kiai Nur Said.