9 Hakim MK Terbukti Langgar Kode Etik Terkait Bocornya Informasi RPH
Selasa, 7 November 2023 | 19:35 WIB
Ketua Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi Jumly Asshiddiqie saat memimpin sidang pada Selasa (7/11/2023). (Foto: tangkapan layar kanal Youtube Mahkamah Konstitusi)
Jakarta, NU Online
Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) memutuskan sembilan hakim Mahkamah Konstitusi (MK) terbukti telah melanggar kode etik dan perilaku hakim yang tertuang dalam Sapta Karsa Hutama Prinsip Kepantasan dan Kesopanan terkait dengan batas syarat minimal usia Cawapres.
Baca Juga
Menjaga Kehormatan Mahkamah Konstitusi
Dalam putusan yang dibacakan oleh Ketua MKMK Jimly Asshidiqie, seluruh hakim MK terbukti tidak dapat menjaga keterangan atau informasi rahasia dalam Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) yang bersifat tertutup, sehingga melanggar prinsip kepantasan dan kesopanan.
“Menjatuhkan sanksi teguran lisan secara kolektif kepada para hakim terlapor,” ujarnya dalam sidang yang digelar secara terbuka di Gedung MK, Jalan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Selasa (7/11/2023).
Ia menegaskan bahwa Hakim Konstitusi secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama harus memiliki tanggung jawab hukum dan moral untuk menjaga agar informasi rahasia yang dibahas dalam Rapat Permusyawaratan Hakim tidak bocor keluar.
Jimly mengungkapkan, praktik pelanggaran kepentingan sudah menjadi kebiasaan yang dianggap sebagai sesuatu yang wajar, karena para hakim terlapor secara bersama-sama membiarkan terjadinya praktik pelanggaran kode etik dan perilaku hakim konstitusi yang nyata, tanpa kesungguhan untuk saling mengingatkan antar hakim.
“Termasuk terhadap pimpinan, karena budaya kerja yang ewuh pakewuh. Sehingga kesetaraan antarhakim terabaikan dan praktik pelanggaran etika biasa terjadi. Dengan demikian para hakim terlapor secara bersama-sama terbukti melanggar sapta karsa utama prinsip kepantasan dan kesopanan penerapan angka 1,” imbuhnya.
4 rekomendasi
Berkaitan dengan hal tersebut, MKMK memberikan empat Rekomendasi. Pertama, hakim konstitusi tidak boleh membiarkan kebiasan, praktik saling pengaruh-mempengaruhi antarhakim dalam penentuan sikap dalam memeriksa, dalam mengadili, dan memutus suatu perkara yang menyebabkan independensi fungsional hakim-hakim sebagai sembilan pilar tegaknya konstitusi menjadi tidak kokoh. Hal ini pada gilirannya membuka peluang untuk terjadinya pelemahan terhadap independensi struktural kekuasan kehakiman MK secara kelembagaan.
“Kedua, hakim konstitusi tidak boleh membiarkan terjadinya pelanggaran kode etik dan perilaku penyelewengan hakim konstitusi yang nyata, tanpa kesungguhan untuk saling ingat mengingatkan antar hakim termasuk terhadap pimpinan, karena budaya kerja yang euweuh pakeweuh sehingga prinsip antarhakim terabaikan dan praktik pelanggaran etika menjadi biasa terjadi,” ujar Jimly.
Ketiga, hakim konstitusi harus menjaga iklim intelektual yang sarat dengan ide-ide dan prinsip-prinsip pencarian, kebenaran, dan keadilan yang konstitusional. Sebab hidup harus berdasarkan nurani yang bersih dan akal sehat yang tulus untuk kepentingan bangsa dan negara. Hal ini tecermin dalam penulisan pendapat-pendapat hukum yang dalam permusyawaratan dan perdebatan secara substantif para hakim untuk menemukan kebenaran dan keadilan konstitusional yang hidup itu sebagaimana mestinya.
“Keempat, hakim konstitusi secara sendiri-sendiri, bersama-sama harus memiliki tanggung jawab hukum dan moral untuk menjaga agar informasi rahasia yang dibahas dalam RPH tidak bocor keluar,” pungkasnya.