Agung Cahyo Nugroho, Guru Disabilitas yang Tak Pernah Menyerah Mengajar Anak-Anak SLB
Selasa, 25 November 2025 | 22:45 WIB
Agung Cahyo Nugroho sedang menjadi petugas upacara Peringatan Hari Guru Nasional di Sekolah Luar Biasa (SLB) Yayasan Pembinaan Anak Cacat, Kebayoran, Jakarta Selatan, Selasa (25/11/2025). (Foto: NU Online/Suwitno).
Jakarta, NU Online
Agung Cahyo Nugroho (40), guru penyandang disabilitas di Sekolah Luar Biasa (SLB) Yayasan Pembinaan Anak Cacat (YPAC) Kebayoran, Jakarta Selatan, terus menunjukkan keteguhannya dalam mendidik anak-anak berkebutuhan khusus. Meski memiliki keterbatasan fisik, semangatnya untuk mengajar tidak pernah surut.
Pagi itu, suasana di halaman sekolah tampak cerah. Agung terlihat semringah ketika mempersiapkan diri menjadi petugas upacara Peringatan Hari Guru Nasional pada Selasa (25/11/2025).
Dengan bantuan tongkat besi, ia hilir-mudik menyapa murid-muridnya yang berbaris rapi mengelilingi lapangan. Saat upacara berlangsung, Agung bertugas sebagai dirigen dan memandu tiga lagu, yakni Indonesia Raya, Hymne Guru, dan Terimakasih Guruku.
"Hari guru adalah momen yang bersuka cita untuk para guru supaya bisa berinteraksi dengan orang tua, sesama guru, dan para murid, saling memberi doa dan selamat," kata Agung.
Agung telah mengabdikan dirinya sebagai guru selama 13 tahun. Dari 23 tenaga pendidik di YPAC, ia menjadi satu-satunya guru yang juga penyandang disabilitas. Kondisi itu tidak menjadi alasan baginya untuk berhenti berkontribusi dalam mencerdaskan anak bangsa.
Ia mengalami kecelakaan pada 2007 ketika hendak berangkat mengajar les di kawasan Ciputat. Kakinya mengalami luka serius hingga harus dioperasi dan membutuhkan lima kantong darah.
"Saya dirawat di rumah sakit selama satu bulan dan pemulihan badan selama 2 bulan. Saya sempat menggunakan kaki palsu mulai di bulan keempat, tapi sekarang sudah tidak pakai kaki palsu lagi, karena tidak nyaman," lanjut alumni Universitas Negeri Jakarta Jurusan Pendidikan Luar Biasa itu.
Setiap hari, Agung menempuh perjalanan dari rumahnya di Pamulang, Tangerang Selatan, ke Kebayoran, Jakarta Selatan, menggunakan motor matik yang sudah dimodifikasi. Kemacetan hampir selalu ia hadapi, tetapi rasa lelah terbayar lunas ketika bertemu murid-muridnya di kelas.
"Saya selalu bersyukur karena ada orang-orang dan anak-anak disabilitas yang lebih membutuhkan perhatian dan bimbingan dari kami seorang guru. Anak-anak di sini merasa senasib dengan saya, jadi ya mereka dapat merasakan kemistri yang lebih," kata Agung.
Perjalanan karier Agung sebagai pendidik cukup panjang. Ia pernah mengajar di berbagai lembaga, antara lain Sekolah Alam Ciganjur, SDIT Citra Azahra Koordinator Bidang Inklusi Joglo Kembangan, SLB Tunarungu Cipete, Sekolah Khusus Spektrum Bintaro, pusat tumbuh kembang anak di Pancoran, Terapi Pedagogik, dan SDIT Gunung Putri Bogor.
"Kenapa saya pindah-pindah? Karena ingin mencari suasana dan pengalaman baru. Saya tadinya disusulkan jadi P3K tapi ngga mau. Kalau P3K otomatis dipindahkan ke sekolah lain, kasihan di sini kosong. Harapan wali murid juga nggak mau saya pindah," ujarnya.
Di tengah keterbatasan dan tanggung jawab yang besar, Agung terus berupaya meningkatkan kesejahteraannya. Selain mengajar, ia membuka usaha jual beli dan perbaikan laptop di rumahnya.
Sebagai kepala keluarga, ia menjadi tumpuan bagi istri dan dua anak. Anak bungsunya masih balita, sementara anak sulungnya sedang menempuh pendidikan di pondok pesantren.
"Awalnya waktu saya menjadi mahasiswa pada tahun 2002 di UNJ, temen punya rentalan komputer di sekitar kampus. Setiap ada kerusakan saya yang bawa ke Mangga Dua, sembari latihan perbaiki laptop, dari situ saya belajar sampai saya bisa," kata Agung.
Agung berharap pemerintah dapat meningkatkan kesejahteraan para guru, baik di kota maupun daerah terpencil.
"Harapan saya semua guru mendapatkan kesejahteraan baik yang ada di kota maupun di pelosok yang sangat terpencil. Mereka berhak mendapatkan kesejahteraan dan kelayakan untuk hidup karena mereka termasuk orang yang berperan penting dalam membimbing masa depan," harapnya.
Salah satu wali murid, Patmadiwirya (82), menyampaikan kekagumannya atas dedikasi yang diberikan Agung.
"Pak Agung sabar, perhatian banget. Ya semua guru di sini juga baik kalau menghadapi anak-anak, kan anak spesial," katanya.
Berdasarkan data Kemenko PMK pada 2023, jumlah penyandang disabilitas di Indonesia mencapai 22,97 juta jiwa atau sekitar 8,5 persen dari populasi. Sementara Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2022 mencatat, ada 17 juta penyandang disabilitas usia produktif, tetapi hanya 7,6 juta yang terserap dunia kerja.