AJI: Soeharto Jadi Pahlawan Pintu Gerbang Kembalinya Orde Baru, Jurnalis Harus Bersatu
Kamis, 6 November 2025 | 22:42 WIB
Bendera hitam bertuliskan Soeharto Bukan Pahlawan berkibar saat Aksi Kamisan Ke-885 di depan Istana Merdeka, Jakarta, pada Kamis (6/11/2025). (Foto: Konde.co)
Jakarta, NU Online
Aksi Kamisan Ke-885 kembali digelar di depan Istana Merdeka, Jakarta Pusat, Kamis (6/11/2025). Dalam aksi tersebut, massa menyuarakan penolakan terhadap rencana pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto.
Mereka mendesak Ketua Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Kehormatan, Fadli Zon, untuk menghapus nama Soeharto dari daftar usulan penerima gelar tersebut.
Sekretaris Jenderal Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Bayu Wardhana menegaskan bahwa sejarah pers Indonesia mencatat bagaimana kekuasaan Soeharto mengekang kebebasan berekspresi. AJI berdiri pada 1994 sebagai bentuk perlawanan terhadap represi Orde Baru terhadap jurnalisme dan ruang publik.
“Kenapa Soeharto harus kita tolak jadi pahlawan? Karena kalau dia jadi pahlawan, itu pintu gerbang kembalinya Orde Baru,” ujar Bayu.
Ia mengingatkan bahwa pada masa itu hanya satu organisasi jurnalis yang diakui negara, yakni Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), sementara AJI dinyatakan ilegal.
“Siapa pun yang ketahuan anggota AJI, langsung dipecat dari medianya. Semua harus serba satu agar mudah dikontrol. Media saat itu diwajibkan memiliki izin penerbitan dan bila memberitakan hal yang dianggap mengkritik pemerintah, izinnya bisa dicabut sewaktu-waktu,” jelasnya.
Bayu mencontohkan penutupan majalah Tempo, Editor, dan Detik sebagai bukti nyata represi pers pada era tersebut. Ia menilai, pola serupa kini mulai terlihat kembali melalui kebijakan yang berpotensi mengontrol ruang publik, termasuk wacana pembatasan akun media sosial dan pelibatan TNI dalam urusan sipil.
“Kalau Soehartoisme itu kembali, tanda-tandanya sudah jelas. Semua diarahkan untuk satu komando, agar mudah dikendalikan,” tegasnya.
Lebih jauh, Bayu menyoroti praktik intervensi kekuasaan terhadap media yang masih berlangsung hingga hari ini. Ia menyebut kasus tekanan terhadap media yang memberitakan polemik dengan Menteri Pertanian Amran, hingga pembredelan digital terhadap media lokal di Makassar.
“Sekarang pun redaksi masih sering ditelepon istana, diminta menurunkan atau menghapus berita. Kalau menolak, diancam, kalau mau, ditawari iklan,” ungkapnya.
Bayu juga menyinggung penderitaan warga yang terdampak industri tambang di Halmahera dan berbagai daerah lain, sebagai isu yang harus terus diperjuangkan oleh media agar tetap mendapat perhatian publik.
Jurnalis bersatu demi kebebasan pers
Ia menyerukan agar jurnalis kembali bersatu mempertahankan kebebasan pers dan solidaritas sosial sebagaimana yang dulu menjadi salah satu kekuatan dalam tumbangnya Orde Baru.
“Dalam kondisi yang tidak baik-baik, jurnalis harus berpihak pada rakyat,” katanya.
Dalam aksi ini turut hadir Opi, anak dari seorang wartawan yang menjadi korban pembungkaman pada masa Soeharto.
Ia membacakan refleksi dan puisi berjudul Palung Rindu Akan Keberanian, mengenang ayahnya yang ditembak saat meliput kasus pelanggaran HAM Talangsari dan kemudian dipecat setelah memberitakan kekerasan pada 1998 di Palembang.
“Bagi anak seorang jurnalis yang dibungkam, wacana Soeharto menjadi pahlawan adalah lelucon yang mengerikan bagi generasi selanjutnya,” ujar Opi menutup kesaksiannya.