Jakarta, NU Online
Tasawuf adalah ilmu yang berkaitan dengan akhlak, baik kepada Allah maupun kepada sesama makhluk ciptaan-Nya. Karena itu, seseorang yang sedang menuntut ilmu atau dalam proses pembentukan karakter, jika tidak dilakukan dengan tasawuf maka keilmuan dan karakternya akan kosong.
Hal tersebut diungkapkan oleh Mantan Menteri Agama RI KH Said Agil Husin Al-Munawwar dalam webinar yang diadakan oleh Lembaga Pendidikan Ma’arif NU bertajuk Jalan Sufi: Nilai-Nilai Tasawuf Membangun Karakter Menuju Generasi Emas Indonesia 2030, pada Jumat (28/8).
“Nah dengan akhlak itu, akan menjadikan ilmu kita berada di posisi terhormat,” sambungnya.
Ia menegaskan, seseorang yang pernah belajar tasawuf tidak akan pernah menyalahkan orang lain. Dengan kata lain, tasawuf mengajarkan seseorang agar mampu menghormati orang lain karena kelak orang lain akan juga menghormati.
“Ilmu tasawuf akan mengantarkan kita menjadi pribadi yang mulia, dekat dengan Allah dan dengan sesama. Sebab akan tertanamkan berbagai akhlak yang mulia,” ungkapnya.
Doktor lulusan Universitas Ummul Qurra Makkah ini menerangkan bahwa orang-orang yang menjalankan laku tasawuf atau dikenal sufi, dikenal dengan sebutan zahid, yakni orang-orang yang tidak terbelenggu dengan perkara duniawi.
“Para sufi itu hidup dengan alamnya sendiri, sehingga ketika berbicara terkadang aku-nya adalah aku-nya Tuhan. Ini maqam (derajat) yang sudah dicapai. Nah, maqam itu tidak akan diperoleh kecuali melalui suatu proses yang diantaranya adalah riyadhoh atau mujahadah,” terangnya.
Para kiai, lanjutnya, banyak yang sudah sangat memiliki kemuliaan. Tentu saja hal itu merupakan hasil dari riyadhoh yang dilakukan selama bertahun-tahun. Tidak pernah tidur di malam hari, karena istiqomah shalat tahajud.
“Mereka (kiai-kiai) betul-betul serius untuk mencari itu semua (derajat kemuliaan). Oleh karena itu, apa pun disiplin ilmu yang dipelajari harus ada nilai-nilai tasawuf yang mendasari ilmu itu, agar ilmu yang kita dapat berada di posisi terhormat,” tegasnya.
Para orang tua terdahulu, ia menambahkan, memberikan ilmu pengetahuan sekaligus mendidik anak-anaknya agar menjadi orang yang hatinya bersih agar ilmunya bermanfaat. Sebab, apabila hatinya kotor maka ilmu yang didapat tidak akan bermanfaat.
“Apalagi kotor karena sering melanggar hukum Allah seperti melakukan maksiat atau durhaka kepada Allah. Karena jika demikian, hafalan dan ilmunya akan hilang semua,” tegas tokoh agama kelahiran Palembang, Sumatera Selatan ini.
Kemudian ia menjelaskan, tasawuf sebenarnya sudah ada sejak zaman Nabi Muhammad. Bahkan, disebut bahwa Nabi adalah sufi awal yang diwariskan atau diajarkan kepada para sahabat sampai dengan generasi berikutnya.
“Di abad kedua ada tokoh sufi yang namanya Hasan Al-Bashri yang wafat pada 110 hijriah. Kemudian ada Ibrahim bin Adham wafat pada 162 hijriah, Sufyan Ats-Tsauri wafat pada 162 hijriah, dan Imam Ja’far Ash-Shodiq wafat pada 148 hijriah,” jelasnya.
Di masa itu, sambungnya, muncul sosok Rabiah Al-Adawiyah yang wafat pada 185 hijriah. Tokoh sufi perempuan tersebut ketika kembali kepada Allah dan mencari ma’rifatullah, selama 40 tahun tidak pernah bicara. Namun, apabila diajak bicara, yang keluar hanya ayat-ayat Al-Quran saja.
“Maka muncul konsep atau bentuk iman seorang kepada Tuhannya yang beliau sebut sebagai al-khauf (takut), ar-raja’ (pengharapan), dan al-mahabbah (cinta),” terang Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta ini.
Pada abad ketiga dan keempat, lanjutnya, muncul tokoh sufi Abu Yazid Al-Busthomi yang wafat tahun 261 hijriah, Husin bin Mansur Al-Hallaj (w. 309 hijriah), Zannunal Mashri (w. 264 hijriah), dan kemudian ada Imam Ghazali yang wafat pada 505 hijriah.
“Dari situ kemudian muncul sebutan mursyid, khalifah, ribath, dan zawiyah. Ini menjadikan tasawuf itu sebenarnya terus berkembang. Abad keenam muncul As-Suhrawardi yang wafat pada 549 hijriah dan Ibnu ‘Arabi yang wafat pada 538 hijriah,” terangnya.
Intinya, ia menegaskan bahwa tasawuf mengajarkan seseorang soal etika dan estetika dalam berkehidupan. Oleh karena itu ia menyarankan agar di dalam mendidik perlu disisipkan nilai-nilai tasawuf kepada para peserta didik.
“Karena kalau kita mendidik tapi tidak dekat dengan Yang Memiliki Ilmu Pengetahuan, maka ilmu yang kita berikan kepada anak didik, tidak akan ada gunanya,” tandas ulama yang juga alumnus Universitas Islam Madinah ini.
Pewarta: Aru Lego Triono
Editor: Fathoni Ahmad