Nasional

Aksi Kamisan Ke-881, Reformasi TNI Gagal Selama Kasus Pelanggaran HAM Tak Diselesaikan

Kamis, 9 Oktober 2025 | 21:00 WIB

Aksi Kamisan Ke-881, Reformasi TNI Gagal Selama Kasus Pelanggaran HAM Tak Diselesaikan

Peneliti Senior Imparsial Al Araf saat berorasi dalam Aksi Kamisan Ke-881 di depan Istana Merdeka, Jakarta, pada Kamis (9/10/2025). (Foto: NU Online/Mufidah)

Jakarta, NU Online

Aksi Kamisan Ke-881 bertajuk Kembalikan TNI ke Barak, Akhiri Impunitas digelar di depan Istana Merdeka, Jakarta, pada Kamis (9/10/2025).


Massa aksi menyerukan agar militer kembali ke barak dan negara segera menuntaskan kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) masa lalu.


Dalam aksi tersebut, Peneliti Senior Imparsial, Al Araf, menilai bahwa masih terjadinya kekerasan oleh aparat militer terhadap warga sipil merupakan bukti bahwa reformasi TNI belum dijalankan secara utuh.


Al Araf menjelaskan bahwa reformasi yang diharapkan rakyat pada 1998 seharusnya memastikan militer tidak lagi terlibat dalam urusan sosial-politik, serta bertanggung jawab atas kejahatan masa lalunya.


“Pertanyaannya, kenapa kekerasan oleh oknum militer masih terus terjadi di masa demokrasi ini? Jawabannya karena ketidakadilan masa lalu tidak pernah dituntaskan. Kasus-kasus seperti Semanggi, penculikan aktivis, Talangsari, hingga Tanjung Priok tidak pernah benar-benar diusut,” tegas Ketua Centra Initiative itu.


Ia menilai, kegagalan pemerintah dalam menuntaskan kasus pelanggaran HAM masa lalu menyebabkan lahirnya budaya impunitas yang membuat pelaku merasa kebal hukum. Kondisi ini, lanjutnya, menjadi akar dari berulangnya kekerasan yang melibatkan militer di berbagai daerah hingga hari ini.


“Kalau ditanya apa hal paling esensial dalam reformasi TNI? Jawabannya sederhana: menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu. Tanpa keadilan bagi korban, reformasi hanyalah slogan kosong,” ujarnya.


Al Araf juga menyoroti kemunduran demokrasi dan kembalinya semangat dwifungsi ABRI dalam wajah baru dengan kembalinya praktik militerisasi dalam ruang sipil, mulai dari penjagaan gedung DPR hingga pelibatan TNI dalam program-program nonpertahanan seperti ketahanan pangan.


“Negara ini sedang membangun politik ketakutan dengan menormalisasi kehadiran tentara di ruang sipil. Padahal, militer dilatih untuk perang, bukan untuk mengurus urusan warga sipil. Ini tanda kemunduran reformasi,” kata Al Araf.


Ia juga mengingatkan, kehadiran TNI di ruang sipil hari ini harus dikritisi karena merupakan bentuk ancaman terhadap prinsip demokrasi. Sejarah mencatat, keterlibatan militer dalam kehidupan politik dan sosial selalu berujung pada pelanggaran HAM dan represi terhadap masyarakat.


Lebih lanjut, Al Araf menilai bahwa selama pemerintah menghindari tanggung jawab konstitusional untuk menegakkan hukum dan melindungi korban, keadilan di negeri ini tidak akan pernah hadir.


“Negara ini absen terhadap hukum. Ada pelaku, ada korban, ada undang-undang, tapi keadilan tidak ada,” ucapnya.