Nasional

Aksi Kamisan Ke-883, Peneliti CSIS: Setahun Prabowo-Gibran Jauh dari Prinsip Pelindungan HAM

Kamis, 23 Oktober 2025 | 23:30 WIB

Aksi Kamisan Ke-883, Peneliti CSIS: Setahun Prabowo-Gibran Jauh dari Prinsip Pelindungan HAM

Peneliti CSIS Nicky Fahrizal saat menyampaikan Kuliah Jalanan bertema Satu Tahun Prabowo-Gibran: Demokrasi Terkikis, Impunitas Dibiarkan di depan Istana Merdeka, Gambir, Jakarta, pada Kamis (23/10/2025). (Foto: NU Online/Mufidah)

Jakarta, NU Online

Peneliti Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Nicky Fahrizal menyebut bahwa pemerintahan Prabowo-Gibran selama satu tahun telah menunjukkan gejala menjauhnya praktik bernegara dari prinsip pelindungan hak asasi manusia (HAM), keadilan, transparansi, dan kemanusiaan.


Kritik ini disampaikan dalam Aksi Kamisan Ke-883 yang dikemas dalam bentuk Kuliah Jalanan bertema Satu Tahun Prabowo-Gibran: Demokrasi Terkikis, Impunitas Dibiarkan di depan Istana Merdeka, Gambir, Jakarta, pada Kamis (23/10/2025).


Nicky menjelaskan bahwa setahun pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka mengalami kemunduran signifikan dengan menguatnya kembali pendekatan militeristik dan lemahnya komitmen terhadap reformasi kepolisian.


“Satu tahun pemerintahan Prabowo Subianto telah memberikan kita banyak pelajaran,” ujar Nicky.


“Perlahan tapi pasti kita melihat arah demokrasi, tata kelola negara, penegakan hukum, dan pelindungan HAM bergerak menjauhi dari prinsip sejati seperti keadilan, transparansi, dan kemanusiaan. Itu fakta dan fakta pahit bagi kita semua di sini,” jelasnya.


Nicky menyoroti upaya pemerintah memperluas struktur militer melalui rencana pembangunan 22 Komando Daerah Militer (Kodam) baru sejak 2024.


Menurutnya, langkah tersebut bukan sekadar strategi pertahanan, tetapi juga bentuk remiliterisasi ruang publik yang berpotensi mengancam supremasi sipil.


“Perluasan peran militer tanpa tata kelola yang jelas hanya akan membuka ruang penyalahgunaan kekuasaan. Kini, militer masuk terlalu jauh ke urusan sipil pertanian, infrastruktur, bahkan pendidikan,” tegasnya.


Selain militerisasi, Nicky juga menyoroti gagalnya reformasi kepolisian yang dianggap tak menunjukkan tanda perubahan berarti.


Ia menilai momentum perbaikan institusi kepolisian telah hilang sejak berbagai kasus besar yang melibatkan petinggi Polri yakni Ferdy Sambo dan Teddy Minahasa, hingga tragedi Kanjuruhan.


“Di era Presiden Prabowo, komitmen untuk memperbaiki institusi kepolisian semakin kabur. Reformasi yang tidak tuntas akan melahirkan tiga bahaya yaitu kembalinya mentalitas represif, hilangnya kepercayaan publik, dan terkikisnya demokrasi,” paparnya.


Nicky mengingatkan bahwa kondisi saat ini mengarah ke mana hukum berhenti berlaku, tetapi tetap dilegalkan atas nama stabilitas. Ia juga menyerukan pentingnya menyalakan kembali keberanian sipil dan menolak normalisasi ketakutan.


“Logika kekuasaan hari ini bertumpu pada komando, bukan partisipasi publik. Ruang publik menyempit, dan rasa takut menjalar diam-diam pada warga,” katanya.


“Setiap Kamis kita berkumpul di sini bukan sekadar mengenang, tapi menghidupkan kembali nurani dan kesadaran bahwa perjuangan belum selesai,” ujarnya.