Anggia Emarini Tegaskan Fatayat NU Komitmen Dukung RUU TPKS Disahkan
Rabu, 24 November 2021 | 21:00 WIB
Jakarta, NU Online
Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Fatayat NU Anggia Emarini menegaskan, perjalanan panjang Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) sangat panjang dan melelahkan. Namun, harus kuat diperjuangkan karena banyak dukungan.
“Terus terang RUU ini perjalanannya berliku-liku, dinamikanya luar biasa. Berbagai langkah sudah diupayakan Fatayat NU. Dari mulai berbicara sebagai civil society bukan saja di forum, tetapi kita juga berdiskusi secara langsung. Bahkan pada 2019 kita bertemu dengan beberapa pimpinan partai politik untuk membahas ini,” ungkapnya dalam Seminar Nasional dan Pengajian yang digagas PP Fatayat NU di Jakarta, Rabu (22/11/2021).
Ia menyampaikan, setelah Juli 2020, saat RUU itu dikeluarkan dari Prolegnas Prioritas, protes publik sangat marak terutama protes yang disampaikan oleh kelompok-kelompok yang selama ini memang sangat intens mengawal RUU ini.
Fatayat NU sebagai ormas Islam dan bagian penting keluarga besar Nahdlatul Ulama (KBNU), kata dia, sudah sejak lama melakukan langkah koordinasi, sinergi, dan konsolidasi bersama badan otonom dalam KBNU dan Pengurus Wilayah (PW) Fatayat NU se-Indonesia, tak terkecuali aktivis dan para ulama perempuan dalam menyatukan persepsi mengenai urgensi hadirnya Undang-Undang yang memayungi secara komprehensif, penanganan maraknya kekerasan seksual, khususnya terhadap perempuan dan anak.
“Artinya komitmen Fatayat NU terhadap RUU TPKS sudah sangat jelas. Kita juga pernah bertemu dengan sejumlah aktivis dan ulama perempuan di lingkaran NU untuk mengkaji urgensi tentang disetujuinya RUU ini,” kata Anggi.
Hal itu menjadi bukti keprihatinannya mengenai menanjaknya angka kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak di Indonesia, sehingga mengharuskan seluruh pihak mengambil peran penting dalam menyikapinya. Baginya, RUU ini merupakan jawaban dari apa yang dibutuhkan penyintas kekerasan seksual selama ini.
“RUU ini jawaban kongkret agar ada perlindungan memadai terhadap para korban yang selama ini diabaikan dan tidak mendapat tindak lanjut kepastian hukum,” ujar politisi ini.
Komisioner Komnas Perempuan, Maria Ulfah Anshor juga sependapat bahwa pengesahan RUU TPKS ini tidak bisa ditunda lagi mengingat dampak psikologis dan stigma yang diderita korban kekerasan.
“Para korban kekerasan menanggung dampak psikologis dan stigma negatif dari masyarakat. Selain itu korban bisa saja tidak dapat pulih secara optimal sehingga tidak akan bisa berperan aktif dalam pembangunan nasional," ujarnya.
"Kalau kita lihat lagi bagaimana capaian pembangunan nasional dengan menggunakan indikator SDG’s, ini juga bisa dipastikan bahwa dengan tingginya angka kekerasan seksual dapat mengakibatkan target SDG’s di tahun 2030 tidak tercapai,” ungkap Maria.
Untuk itu, Komnas Perempuan mengeluarkan sejumlah rekomendasi kepada Baleg DPR RI melanjutkan proses penyusunan RUU TPKS untuk ditetapkan sebagai RUU inisiatif DPR RI.
“Di DPR agendanya 25 November besok itu akan ada paripurna yang mengesahkan RUU ini sebagai inisiatif DPR RI. Kita buktikan besok pagi, kalau diketok artinya dia serius, kalau tidak kita pertanyakan komitmennya,” tegas dia.
Sepakat dengan Maria Ulfah Ansor, salah seorang legislator, Nur Nadlifah mengungkapkan alasan RUU tersebut harus menjadi prioritas dan segera disahkan lantaran angka kekerasan terhadap perempuan di Indonesia terus meningkat dari tahun ke tahun.
Hal itu sesuai dengan temuan data Komnas Perempuan yang menyebut jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan pada 2019 sebanyak 431.471 kasus. Angka tersebut meningkat hampir 6 persen dari tahun sebelumnya, yakni 406.178 kasus.
Karenanya, ia meminta kepada semua pihak dari berbagai elemen untuk memberikan dukungan agar RUU TPKS ini besok pagi disahkan.
"Sekali lagi, jangan sampai RUU ini tidak disahkan,” tandas politisi asal Dapil Jateng IX itu.
Kontributor: Syifa Arrahmah
Editor: Syamsul Arifin