Anjas Pramono, Mahasiswa Difabel Kader NU yang Berhasil Ciptakan 5 Aplikasi
Rabu, 31 Juli 2019 | 03:10 WIB
Meski nilainya terbaik, bahkan matematikanya dapat nilai sempurna, ia ditolak oleh sebuah sekolah menengah pertama yang menjadi pilihannya. Keinginanannya mewujudkan cita-cita orang tuanya yang ingin putra sulungnya itu menjadi dokter pun harus pupus karena kondisinya demikian. Padahal, ia sudah dinyatakan lulus secara akademik.
Namun, ia tak menyerah. Ia segera mendaftar kuliah pada jurusan Teknologi Informasi di Universitas Brawijaya. Pilihan itu atas dasar pertimbangan tidak perlu aktivitas berlebih dan tidak mempersoalkan kondisinya. Ia pun diterima dan aktif sebagai anggota PMII. Bahkan ditunjuk menjadi ketua Rayon Fakultas Teknik dan saat ini sebagai Ketua Komisariat Universitas Brawijaya.
Melihat tak sedikit rekan-rekannya yang difabel, Anjas Pramono berkeinginan menghimpun mereka dalam sebuah organisasi Forum Mahasiswa Peduli Inklusi (Formapi). Ternyata, tidak hanya mereka yang difabel saja yang ingin bergabung, orang-orang yang tidak difabel pun turut menjadi bagian di dalamnya.
Tentu saja ia tak menolaknya. Tak ayal, saat ini masing-masing mahasiswa difabel di kampusnya memiliki seorang relawan untuk menemaninya. “Setiap disabilitas ada volunteer,” katanya saat berkunjung ke NU Online di Gedung PBNU Lantai 5, Jalan Kramat Raya 164 Jakarta, Selasa (30/7).
Keberhasilannya mendirikan forum tersebut menarik mahasiswa Universitas Padjadjaran untuk mengadopsinya ke kampusnya. Pasalnya, di sana juga terdapat mahasiswa difabel, tetapi belum memiliki forum.
“Tahun kemarin ada orang Bandung nemuin saya. Di sana ada mahasiswa disabilitas tapi tidak ada forumnya,” cerita mahasiswa Teknik Informatika tersebut.
Berkat dorongan dan bantuannya, Unpad juga saat ini sudah memiliki wadah yang sama. Melihat hal tersebut, ia punya rencana untuk bekerja sama dengan seluruh kampus di Indonesia membuat forum yang sama.
“Kenapa saya gak kerja sama dengan universitas di seluruh Indonesia. Saya ingin bekerja sama dengan universitas-universitas di Indonesia, ada UKM disabilitas,” harapnya.
Sebagai mahasiswa Teknologi Informatika, Anjas juga membuat aplikasi untuk memudahkan orang belajar bahasa isyarat. Hal itu, menurutnya, penting guna berkomunikasi dengan saudara-saudara yang tunarungu mengingat ketidakmungkinan memaksa mereka untuk berbicara. “Kita coba memahami bahasa mereka. Itu bahasa masyarakat,” tegasnya.
Anjas membuat aplikasi bernama Difodeaf, sebuah kamus bahasa isyarat. Aplikasi ini diganjar medali emas dari University of Malaysia pada 2018.
Aplikasi kedua yang dibuat bernama Locable. Adalah kepanjangan dari Location for Difable. Aplikasi ini untuk menjawab kendala teman-teman difabel agar bagaimana bisa mengakses tempat yang ramah disabilitas.
Karya ketiga yang dibuatnya adalah aplikasi jual beli disabilitas (jubilitas). Dia membuat aplikasi ini karena ingin memberikan ruang kepada difabel untuk berwirausaha. Mengingat kesempatan mereka mendapatkan pekerjaan seperti di kantor dan sebagainya sangat kecil.
Ada juga aplikasi yang dibuat Anjas, berkaitan tentang transportasi. Aplikasi tersebut dipasang di angkot dan dapat perunggu di Bali tahun kemarin.
Terakhir ada aplikasi guru ngaji. Aplikasi ini berguna untuk orang tua yang akan memilih guru ngaji untuk anaknya. Sebab di kota besar macam Jakarta, atau Surabaya, tidak sedikit guru ngaji yang mengajarkan ilmu yang radikal.
Atas prestasi Anjas di tengah keterbatasan fisiknya, Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Robikin Emhas mengungkapkan rasa bangganya terhadap kader NU asal Kudus, Jawa Tengah itu. Menurutnya, setiap orang merupakan karya terbaik Tuhan.
“Saya jadi lebih setuju sampean dan semua orang adalah pribadi yang istimewa karena bisa berkarya layaknya pribadi istimewa seperti yang lain,” katanya. (Syakir NF/Fathoni)