Artis hingga Mantan Atlet Masuk Jajaran Kabinet Merah Putih, Pengamat: Politik Imbal Balik
Kamis, 24 Oktober 2024 | 20:00 WIB
Prabowo Subianto saat usai melantik jajaran Penasihat Khusus, Urusan Khusus, dan Staf Khusus Presiden, Selasa (22/10/2024). Salah satunya, Raffi Ahmad sebagai Utusan Khusus Presiden Bidang Pembinaan Generasi Muda dan Pekerja Seni. (Foto: instagram @raffinagita1717)
Jakarta, NU Online
Kabinet Merah Putih di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka, sudah terbentuk. Nama kabinet beserta jajaran menteri dan wakil menteri telah diumumkan pada Ahad (20/10/2024) malam.
Kemudian, jajaran menteri dan wakil menteri serta para kepala lembaga setingkat menteri dilantik langsung oleh Presiden Prabowo pada keesokan harinya, Senin (21/10/2024).
Pada Selasa (22/10/2024), Presiden Prabowo kembali melantik sejumlah nama untuk mengisi jabatan sebagai Penasihat Khusus, Utusan Khuusus, dan Staf Khusus Presiden.
Dari ratusan orang pengisi Kabinet Merah Putih itu, muncul beberapa nama artis papan atas hingga mantan atlet. Mereka adalah Raffi Ahmad, Giring Ganesha, Yovie Widianto, dan Taufik Hidayat. Bahkan, ada juga nama Gus Miftah Maulana Habiburrahman, pendukung Prabowo-Gibran yang dikenal sebagai pendakwah.
Keputusan Presiden Prabowo memasukkan nama-nama itu ke dalam Kabinet Merah Putih mengundang sejumlah kritik.
Salah satu kritik datang dari Pengamat Politik Achmad Choirul Furqon. Ia mengatakan bahwa Presiden Prabowo Subianto melakukan politik imbal balik jasa kepada orang-orang yang sudah membantu ketika pencalonan pada Pilpres lalu.
"Mereka semua berjasa kepada Presiden Prabowo ketika pencalonan," kata Furqon, Magister Ilmu Politik dan Pemerintahan Universitas Indonesia (UI) itu, kepada NU Online, Rabu (23/10/2024).
Furqon mengatakan bahwa keberadaan Raffi Ahmad dan Gus Miftah di jajaran Kabinet Merah Putih bisa dianalisis menggunakan teori Klientilisme Democracy for Sale karya Edward Aspinall dan Ward Berenschot.
"Sangat jelas jika teori yang digunakan adalah teori Klientilisme Democracy for Sale karya Aspinall dan Barenschot, yaitu ketika para politisi memenangi pemilihan dengan mendistribusikan projek-projek berskala kecil, memberikan uang tunai atau barang kepada para pemilih," katanya.
Ia mengutip Buku Democracy for Sale karya Aspinall dan Barenschot yang menyediakan suatu analisis tentang demokrasi Indonesia yang bersentuhan langsung dengan kehidupan sehari-hari rakyatnya.
Edward Aspinall dan Ward Berenschot memeriksa jejaring informal dan strategi-strategi politik yang membentuk akses pada kekuasaan dan privilese dalam lingkungan politik kontomporer Indonesia yang morat-marit.
Hasil cermatan mereka memperlihatkan bahwa di setiap tingkatan, institusi-institusi formal dibayang-bayangi oleh dunia gelap koneksi personal dan pertukaran klientelistik.
"Dipasangnya orang pasti punya hitungan untuk memajukan. Tapi prinsipnya itu masih bagi-bagi jatah jabatan saja," tegas Furqon.
Pengamat Politik, Mahmudi juga menyebut bahwa keputusan Presiden Prabowo yang membuat Kabinet Merah Putih sangat gemuk itu cenderung menggunakan porsi kekuasaan semata.
"Bagi saya sangat tidak pas jika seorang Presiden memiliki kecenderungan terhadap porsi politis atau kekuasaan yang lebih besar, daripada urgensi dengan memecahkan segala permasalah dan tantangan negara," tegas Mahmudi, pria yang pernah menjabat Ketua Serikat Petani Indonesia (SPI) Rembang pada 2016 itu.
Dalam arti luas, Mahmudi menyebut adanya spekulasi dalam hal politis yang lebih besar terwujud.
"Dengan banyaknya kementerian dan lembaga tentu akan mempengaruhi kinerja pemerintah dalam mengimplementasi segala program yang sudah termaktub dalam 8 visi (Asta Cita) Prabowo," tegasnya.
"Bagi saya, ini adalah awal kerumitan seorang Presiden yang nantinya berpengaruh terhadap tata kelola (governance)," lanjutnya.
Menurut Mahmudi, artis-artis yang ditunjuk Prabowo itu seolah-olah menempati posisi yang cukup krusial. Ia menilai, betapa tumpang tindihnya profesi yang semula hanya berkutat di dunia industri dan hiburan, beralih ke dalam pemerintahan.
"Harusnya diupayakan berdasar keahlian. Jangan berdasarkan pertimbangan politis belaka apalagi euforia kekuasaan dengan menambah gendut kabinet," jawab Mahmudi.
Walaupun sangat pro-kontra di mata masyarakat umum, tentunya ada alasan yang kuat bagi Presiden untuk memilih seseorang menduduki kursi jabatan, salah satunya karena faktor kontribusi pemuda.
"Siapa pun itu, sebetulnya sah-sah saja untuk berkontribusi. Namun sayang, negara ini belum mengejawantahkan sistem meritokrasi yang baik demi tata kelola pemerintah yang bijak, adi, dan merata. Kebanyakan KKN (korupsi, kolusi, nepotisme) masih menjadi beban yang belum terpecahkan bagi negara hingga saat ini," terangnya.