Nasional

Aruki Soroti Pasifnya Delegasi Indonesia dalam Konferensi Perubahan Iklim di Brasil

Kamis, 27 November 2025 | 18:00 WIB

Aruki Soroti Pasifnya Delegasi Indonesia dalam Konferensi Perubahan Iklim di Brasil

Delegasi Indonesia di COP-30 2025 di Brasil. (Foto: Humas Kementerian Lingkungan Hidup)

Jakarta, NU Online

Konferensi Tinggi Perubahan Iklim Ke-30 atau COP-30 Amazonia pada 10–21 November 2025 di kota Belem, Brasil dinilai gagal menghasilkan keputusan yang mampu menjawab kedaruratan krisis iklim global.


Aliansi Rakyat untuk Keadilan Iklim (Aruki) menyayangkan sikap Pemerintah Indonesia yang dinilai absen dan pasif dalam menyuarakan kepentingan rakyat Indonesia. Delegasi resmi Indonesia dianggap lebih banyak memfasilitasi kepentingan korporasi pencemar ketimbang memperjuangkan agenda rakyat di forum COP-30.


Delegasi Indonesia juga menjadi sorotan masyarakat internasional karena komitmen iklim yang dibawa justru dinilai kontradiktif dengan aspirasi publik. Di antaranya terkait perdagangan karbon, absennya dukungan terhadap penghentian industri fosil, serta proyek-proyek iklim di dalam negeri yang disebut sarat pelanggaran hak asasi manusia.


Manajer Kampanye Hutan dan Kebun WALHI Nasional, Uli Arta Siagian, menilai bahwa selama COP-30 Pemerintah Indonesia lebih sibuk memperdagangkan karbon ketimbang menunjukkan komitmen nyata menurunkan emisi dan melindungi kelompok rentan dari dampak perubahan iklim.


“Perdagangan karbon, khususnya karbon hutan, berpotensi menjadi ajang greenwashing dan green-grabbing,” kata Uli dalam keterangan yang dikirim kepada NU Online, Kamis (27/11/2025).


Di lapangan, lanjutnya, berbagai proyek transisi energi di dalam negeri digerakkan melalui skema Proyek Strategis Nasional (PSN) yang sarat kerusakan lingkungan serta pelanggaran HAM. Skema PSN memberikan kemudahan perizinan, percepatan pengadaan tanah, dan sejumlah diskresi yang membuka ruang terjadinya kriminalisasi warga, penggusuran paksa, perampasan ruang hidup, perusakan lingkungan, intimidasi aparat, hingga impunitas bagi perusahaan.


Ketua Bidang Advokasi dan Kampanye Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Zainal Arifin, menyebut pihaknya mencatat 212 kasus kriminalisasi terkait proyek PSN energi sepanjang 2022–2025.


“Konflik di Pocoleok (NTT), Weda Bay, Morowali, Rempang, Mandalika, hingga geothermal Mutubusa menunjukkan pola berulang: keputusan tertutup, ketidaktransparanan, represi, dan hilangnya hak ekonomi–sosial masyarakat,” ungkap Zainal.


Ia menambahkan, di sejumlah wilayah seperti NTT, NTB, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Maluku, dan Maluku Utara, proyek smelter telah mengakibatkan sedimentasi, pencemaran laut akibat tambang nikel, erosi penambangan pasir, serta hilangnya ruang hidup masyarakat. Kerusakan juga terjadi pada kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil yang terdampak proyek energi dan pariwisata.


“Alih-alih memperkuat ketahanan iklim, banyak proyek atas nama iklim, termasuk PSN, justru menciptakan maladaptasi yang memperparah risiko bencana, memutus mata pencaharian, dan merusak ekosistem penyangga,” jelasnya.


Sementara itu, Direktur Eksekutif Yayasan Pikul, Torry Kuswardono, menilai bahwa di tingkat global Pemerintah Indonesia sering membawa narasi pembangunan hijau dan transisi energi. Namun, di dalam negeri kebijakan iklim masih bersifat sektoral dan belum menjawab implementasi prinsip keadilan iklim secara menyeluruh.


Setelah COP-30 berakhir, kata Torry, Pemerintah Indonesia memiliki mandat konstitusi untuk memastikan keselamatan rakyat dari ancaman krisis iklim. Ia menekankan pentingnya percepatan pembahasan RUU Keadilan Iklim yang telah masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2024–2029.


“RUU ini menjadi landasan utama merespons krisis iklim secara holistik, tidak hanya soal penurunan emisi, tetapi juga perlindungan HAM, mekanisme ganti rugi, dan tata kelola yang partisipatif serta akuntabel,” jelas Torry.


Aruki mendesak Pemerintah Indonesia untuk segera membahas dan mengesahkan RUU Keadilan Iklim. Regulasi tersebut penting agar kelompok rentan—termasuk masyarakat adat, penyandang disabilitas, perempuan, anak muda, buruh dan pekerja informal, nelayan, masyarakat miskin kota, serta lansia—menjadi subjek utama dalam agenda dan aksi iklim yang berkeadilan.