Nasional

Konsep Berkeluarga secara Maslahah ala NU

Kamis, 1 November 2018 | 15:50 WIB

Jakarta, NU Online
Perbedaan mendasar antara Keluarga Maslahah dan keluarga sakinah adalah pada dimensi keterkaitannya dan kemanfaatannya (maslahah) dengan elemen di luar keluarga. Konsep Keluarga Maslahah secara singkat adalah sebuah keluarga memberi kemaslahatan, tidak hanya bagi anggota keluarga keluarganya, namun juga mempertimbangkan manfaat bagi masyarakat di sekitar, bangsa dan lingkungan.

“Jika Konsep Keluarga Sakinah berfokus antara pasangan dalam rumah tangga saja, maka Konsep Keluarga Maslahah juga mempertimbangkan manfaat keluarga untuk lingkungan di sekitar,” ujar Dr Nur Rofiah di PBNU dalam sebuah diskusi mengenai Konsep Keluarga Masahah.

Secara koseptual Keluarga Maslahah didefinisakan sebagai "Keluarga yang setiap anggotanya mampu mendatangkan kebaikan pada diri masing-masing dan pihak lainnya sehingga keluarga mampu memberikan kebaikan pada seluruh anggota keluarga dan pihak lain seluas-luasnya". 

Ia menjelaskan bahwa Konsep Keluarga Maslahah meliputi beberapa jenis interaksi; yakni relasi suami-istri, relasi orang tua dan anak, relasi dalam keluraga besar, lalu relasi sosial dan relasi ekologis yakni bagaimana sebuah keluarga memperlakukan alam di sekitarnya.

Dengan konsep yang demikian, Keluarga Maslahah ini diyakini dapat mencetak anggota keluarga yang memiliki kepribadian Insan Kamil. “Di mana mereka, memegang konsep hifdul ‘aql (menjaga akal sehat), hifdul amni wassalam (menjaga keamanan dan kedamaian), hifdul wathon (mencintai tanah air) dan mengutamaan da’ul mafasid ‘ala jalbil masholih (mengutamakan meninggalkan kemafsadatan dari pada melakukan kebaikan),” kata Nur Rofiah.

Dalam praktiknya kelak, lanjutnya, Keluarga Maslahah ini akan menolak pernikahan anak, sebab madlorot atau kerugiannya lebih banyak dari pada manfaat yang dihasilkan karenanya. 

Sebenarnya Konsep Keluarga Maslahah adalah konsep yang dibangun dari tradisi pendidikan yang ada dalam kultur Nahdlatu Ulama, yang berasal dari konsep manusia yang memiliki dua peran; sebagai seorang hamba dan sejaligus sebagi khalifah fil ard. 

“Sebenarnya, konsep Keluarga Maslahah ini adalah konsep yang sudah lama ada dalam tradisi Nahdlatul Ulama,” kata Nur Rofiah

Nur Rofiah menjadi satu dari tiga pemateri diskusi yang digelar oleh Lembaga Kemaslahatan Keluarga Nahdlatul Ulama (LKK-NU) ini. Di sampingnya ada Koordinator Jaringan Gusdurian Alissa Wahid dan Aktivis Pendidikan Keluarga Najeela Shihab. 

Mengapa kita harus menolak pernikahan anak
Secara khusus Alissa Wahid menyoroti banyaknya kasus pernikahan anak di Indonesia. Putri sulung Gus Dur ini mengatakan bahwa pernikahan anak menjadi sumber sejumlah masalah lain seperti kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), penerlantaran anak, perceraian, tingginya kematian ibu dan anak hingga stunting.

Menurutnya, saat ini, masih banyak keluarga atau orang tua yang menjadikan pernikahan anak sebagai jalan keluar dari masalah domestik seperti kenakalan remaja. Sebagian orang tua berasumsi bahwa dengan menikahkan anaknya yang berusia di bawah umur, akan menyelesaikan masalah. Padahal faktanya jutru melahirkan masalah baru yang lebih besar.

Alissa memaparkan sejumlah data yang mendukung bahanyanya pernikahan usia anak; Sebanyak 42 persen perempuan di Indonesia menikah di usia 14-19 tahun. Sementara data kematian ibu remaja saat melahirkan adalah 48 orang per seribu kelahiran. Sementara kematian anak dalam seibu kelahiran mencapai 38 kematian. 

Alisaa menilai tingginya angka kematian ibu remaja dan anak diakibatkan ketidak siapan ibu muda dalam menghadapi kehamilan dan persalinan. “Ibu-ibu bisa membayangnkan bagaimana seorang anak perempuan usia 14 tahun bisa melahirkan seorang bayi?” kata Alissa di hadapan puluhan ibu-ibu peserta diskusi.

Masalah selanjutnya yang bisa lahir dari penikahan anak adalah kesehatan anak yang luput dari prioritas perhatian orang tuanya yang masih muda. Di atas kertas sebanya 37 persen anak di Indonesia mengalami gagal tumbuh optimal.  Alisa menuding, hal itu adalah akibat dari minimnya pengetahuan orang tua atas kesehatan anak.

Alisa melanjutkan, dalam sebuah pernikahan dengan usia pasangan yang begitu muda dan cenderung kurang matang, kekerasan dalam keluarga sangat mungkin terjadi. Dari 105.103 KDRT yang terjadi di tanah air, 93,8 persen terjadi di dalam rumah tangga. 

“Yang paling banyak melakukan kekerasan pada perempuan adalah pasangannya. Di sisi yang lain, angka kekerasan terhadap anak terus meningkat setiap tahunnya,” kata Alissa.

Menurut sekretari LKKNU ini, salah satu solusi untuk menekan rantai maslah ini adalah memberikan pendidikan seksual pada anak. Pendidikan ini akan membekali seorang anak sehingga memiliki pengetahuan seputar masalah seksual. “Pendidikan seks akan mengajari adik-adik kita antara mana yang boleh dan mana yang tidak boleh dilakukan,” ujarnya. 

Alissa menyinggung keengganan beberapa orang terhadap pendidikan seks. Menurutnya, mengangap pendidikan seksual sebagai barang yang tabu, adalah pandangan yang keliru. Justru seorang anak yang dibekali pendidikan seks yang baik oleh orang tuanya akan terhidar dari pendidikan seks dari sumber lain yang lebih berbahaya. 

Sementara itu, Najeela Shihab secara gamblang mengingatkan bahwa tugas mendidik anak ada di dalam keluarga. Orang tua, lanjutnya tidak dapat lepas tanggung jawab atas urusan anak dan menyerahkan begitu saja pada pihak sekolah.

“Jika anak kita tak memiliki hobi membaca, jangan menyalahkan sekolah. Hobi anak usia enam tahun dibentuk dari kebiasaan sejak kecil. Jika keluarganya menanamkan nilai kecintaan pada buku sejak kecil maka akan lahir kecintaan membaca pada anak,” ujarnya. 

Ketiga narasumber sepakat bahwa keluarga merupakan pusat dari pendidikan anak yang dapat menentukan karakter anak. Dan peran orang tua sangat penting dalam menentukan kebiasaan anak. Oleh karena itu, orang tua harus menjadi teladan bagi anaknya bukan menjadi juragan yang hanya memerintahkan tanpa menyontohkan. (Ahmad Rozali)


Terkait