Bangun Fondasi Kuat Rumah Tangga, Ini Panduan Perencanaan Keluarga Maslahat
Jumat, 11 Agustus 2023 | 16:00 WIB
Jakarta, NU Online
Keluarga maslahat atau sakinah adalah sebuah istilah yang menggambarkan tujuan universal dari setiap rumah tangga. Konsep ini memiliki akar dalam nilai-nilai agama dan budaya di masyarakat yang menempatkan kerukunan, pengertian, dan komunikasi sebagai fondasi utama rumah tangga.
Memiliki keluarga sakinah bukanlah sekadar impian, melainkan aspirasi yang dapat diwujudkan melalui usaha, perencanaan, serta komitmen pasangan untuk tumbuh bersama sebagai sebuah unit yang kuat dan saling mendukung. Memahami makna dan nilai-nilai mendasar dalam pernikahan menjadi penting dalam perjalanan menuju keluarga maslahat.
Hal ini diutarakan Wakil Ketua Lembaga Kemaslahatan Keluarga Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (LKK PBNU), Nyai Nur Rofiah. Menurutnya, cita-cita mencapai keluarga maslahat dimulai dengan memahami makna pernikahan.
Nyai Rofiah mengatakan, pernikahan dalam Islam juga tidak terlepas dari memahami jati diri manusia sebagai makhluk yang berakal budi. Manusia bukan hanya makhluk fisik, tetapi juga makhluk intelektual karena berakal dan memiliki nilai spiritual karena berhati nurani. Hal ini akan mempengaruhi terhadap cara pandang tentang pernikahan.
“Islam membangun kesadaran manusia sebagai makhluk yang berakal budi, ini mempengaruhi terhadap cara pandang makna pernikahan itu sendiri. Tujuan laki -laki dan perempuan sebagai manusia hanyalah menghamba kepada Allah dan membuktikannya dengan mewujudkannya kemaslahatan seluas-luasnya di muka bumi baik di dalam dan di luar rumah. Maka, pernikahan juga dimaknai sejalan dengan itu. Itu adalah salah satu sarana untuk bisa melahirkan kemaslahatan lebih luas dibandingkan ketika sendirian,” kata Nyai Rofiah kepada NU Online, Jumat (11/8/2023).
Pernikahan dalam hukum Islam merupakan suatu perjanjian suci nan kuat yang bukan hanya melibatkan kesepakatan antara suami dan istri. Lebih dari itu, pernikahan merupakan kesepakatan antara suami dan istri dengan Allah.
“Maka disebut janji kokoh atau ‘mitsaqan ghalizha’. Pernikahan adalah ikatan suci antara laki-laki dan perempuan dengan Allah untuk bisa memegang teguh iman, memperteguh iman lalu membuktikannya dengan mewujudkan seluas-luasnya baik di dalam maupun luar pernikahan,” tutur Dosen Pascasarjana Perguruan Tinggi Ilmu al-Qur'an (PTIQ) Jakarta itu.
“Jadi di dalam pernikahan itu diperbolehkan hubungan seksual dan adanya nafkah itu sebetulnya implikasi saja. Implikasi yang kemudian dipenuhi sama-sama, sehingga suami dan istri itu sebagai makhluk yang berakal budi, mereka dituntut untuk melakukan reproduksi, ekonomi, sosial secara halalan, thayyiban, ma’rufan,” imbuh dia.
Tiga aspek tersebut yakni halalan, thayyiban, dan ma’rufan perlu menjadi fokus sepasang suami-istri. Tidak hanya sekadar halalan tapi juga ada thayyiban. Hal itu dipastikan berdampak maslahat karena sesuatu yang halal belum tentu maslahat. Sementara itu, halal dan baik juga harus ma’rufan yang itu pertimbangannya melalui sensitivitas sosial.
Doktor lulusan Universitas Ankara Turki itu menegaskan, semua tindakan dalam pernikahan harus dalam rangka ibadah. Artinya, segala hal yang dilakukan dalam mahligai rumah tangga perlu dikelola dengan cara mempertahankan tauhid.
“Benar-benar hanya menghamba kepada Allah. Tidak sambil menghamba kepada harta, libido seks sehingga menuntut dengan cara yang tidak maslahat,” ucapnya.
“Jadi, perkawinan seserius itu, karenanya Al-Qur’an hanya menyebut ‘mitsaqan ghalizhan’ itu tiga kali. Pertama, adalah janji Allah dengan para rasul. Kedua, janji Nabi Musa dengan umatnya. Ketiga, janji suami istri dengan Tuhan,” tutup dia.
Artikel ini merupakan hasil kerja sama antara NU Online dan Direktorat Bina KUA dan Keluarga Sakinah Kemenag RI.