Begini Hukum Merayakan Tahun Baru dan Mengucapkan 'Happy New Year'
Ahad, 31 Desember 2023 | 18:30 WIB
Jakarta, NU Online
Tahun 2023 sudah menemui penghujungnya pada Ahad (31/12/2023) hari ini. Malam ini merupakan malam pergantian tahun menjadi 2024.
Di momen pergantian tahun ini, orang-orang kerap merayakannya dengan berbagai macam kegiatan yang bersifat sukacita, seperti berkumpul dengan keluarga, kerabat, ataupun rekan sejawat, di tengah kota hingga di puncak gunung. Ada yang berbincang, bermain kembang api, konser musik, hingga menikmati penampilan budaya.
Dalam momentum tersebut, orang-orang kerap menyampaikan kepada satu sama lain ucapan selamat tahun baru. Bagaimana Islam memandang tindakan tersebut? Lalu, soal perayaan tahun baru itu sendiri, apa hukumnya?
Alumnus Ma’had Aly Lirboyo Kediri, Ustadz A Zaeini Misbaahuddin Asyuari menulis bahwa mengucapkan selamat tahun baru atau Happy New Year menurut perspektif kajian Islam adalah perkara yang boleh (mubah), sebagaimana dikutip dari artikel NU Online berjudul Rayakan Tahun Baru? Hati-Hati, Ternyata Begini Hukumnya dalam Kajian Islam, pada Ahad (31/12/2023). Ia mendasari pandangannya pada pandangan Imam Ibnu Hajar Al-Haitami dalam kitabnya yang berjudul Tuhfatul Muhtaj fi Syarhil Minhaj.
Mengutip Imam Al-Qamuli, Al-Haitami mengungkapkan bahwa tidak terdapat pandangan ulama mazhab Syafi'i mengenai ucapan selamat hari raya Idul Fitri dan Idul Adha, ucapan selamat pergantian tahun, dan pergantian bulan sebagaimana yang kerap dilakukan oleh kebanyakan orang. Namun Al-Hafidz Al-Mundziri, tulisnya, pernah mengutip bahwa Syekh Al-Hafidz Abu Hasan Al-Maqdisi pernah menjawab pertanyaan mengenai hal tersebut, bahwa selalu terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai ucapan itu.
"Sehingga menurut pendapatku, ucapan selamat tersebut hukumnya adalah mubah (diperbolehkan), bukan sunnah dan bukan pula bid’ah," tulis Ustadz Zaeni mengutip Al-Haitami.
Baca Juga
Tahun Baru: Penyesalan dan Harapan
Senada, hukum merayakan tahun baru juga boleh-boleh saja. Tentunya, hal ini dengan catatan tidak dilakukan dengan cara-cara yang tidak sesuai dengan syariat, seperti tindak kemaksiatan. Hal ini didasarkan pada pandangan Mufti Agung Mesir Syekh Athiyyah Shaqr dalam kitab Fatawa Al-Azhar Juz X.
Di dalam kitab tersebut, ia menegaskan bahwa bersenang-senang dengan keindahan hidup seperti makan, minum, dan membersihkan diri merupakan sesuatu yang diperbolehkan selama masih selaras dengan syariat, tidak mengandung unsur kemaksiatan, tidak merusak kehormatan, dan bukan berangkat dari akidah yang rusak.
Senada, Sayyid Muhammad bin Alawi Al-Maliki dalam kitabnya, Mafahim Yajibu an Tushahihah, juga menegaskan bahwa peringatan tahun baru itu merupakan bagian dari tradisi yang tidak terdapat korelasinya dengan agama, sehingga tidak bisa dikategorikan sebagai sesuatu yang disyariatkan ataupun disunahkan.
Meskipun begitu, hal tersebut juga tidak berseberangan dengan dasar-dasar agama, karena yang justru mengkhawatirkan ialah timbulnya keyakinan terhadap disyariatkannya sesuatu yang tidak disyariatkan.
Melihat dua referensi mengenai perayaan tahun baru di atas, Ustadz Zaeini berkesimpulan bahwa peringatan momentum tahun baru dalam pandangan Islam masuk dalam kategori adat istiadat ataupun tradisi yang tidak memiliki korelasi dengan agama. Dengan begitu, hukumnya bagi seorang Muslim boleh-boleh saja merayakan pergantian tahun baru tersebut selama tidak diiringi dengan kemaksiatan.
Namun, Ustadz Zaeini menegaskan bahwa sudah sebaiknya bahwa pergantian tahun baru ini menjadi satu momentum penting untuk mengevaluasi diri agar lebih memaksimalkan ibadah ke depannya dengan ungkapan syukur.
Hal yang tak kalah penting, menurut pegiat literasi Islam itu, dalam momentum pergantian tahun adalah memohon kepada Allah swt agar senantiasa diberikan kita kekuatan untuk menjalankan kebaikan dan ketaatan serta dijauhkan dari segala marabahaya.