Nasional

Bentuk-Bentuk Kawin Lari di Masyarakat Nitu, Bima

Sabtu, 9 November 2019 | 22:00 WIB

Bentuk-Bentuk Kawin Lari di Masyarakat Nitu, Bima

Ilustrasi (Ist.)

Penelitian berjudul Londo Iha (Kawin Lari) dalam Pernikahan Adat Suku Mbojo-Bima; Menelusuri Konsep Londo Iha (Kawin Lari) dalam Perspektif Masyarakat Nitu Kota Bima Nusa Tenggara Barat, juga ditemukan bentuk-bentuk kawin lari (londho iha) yang terjadi di masyarakat Nitu, Kota Bima.
 
Penelitian yang dilakukan oleh Masita dari Institut Agama Islam Muhammadiyah Bima, NTB pada tahun 2018 didukung oleh Direktorat Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama RI tahun 2018.
 
Pertama, adalah londo iha antara laki-laki dan perempuan yang saling mencintai dan menyukai, di mana laki-laki menjemput dari rumah si perempuan secara sembunyi-sembunyi dalam waktu yang bersamaan karena tidak disetujui oleh orang tua dan langsung ke rumah Kepala Desa atau Lurah, rumah tokoh adat, rumah tokoh agama, rumah Ketua RT, rumah Ketua RW tergantung yang disukai yang mana tetapi rumah yang memiliki kekuatan hukum dan dianggap pemimpin.

Kedua, londo iha (kawin lari) yang hanya berangkat laki-laki dahulu saja di rumah Kepala Desa atau Lurah, rumah tokoh adat, rumah tokoh agama, rumah Ketua RT, rumah Ketua RW tergantung yang disukai yang mana tetapi rumah yang memiliki kekuatan hukum dan dianggap pemimpin, lalu disusul oleh si perempuan dan mengatakan, "Kami datang sudah sabua ade (kami datang dengan satu hati)."
 
Ketiga, ada juga londo iha (kawin lari) yang tidak diketahui oleh si perempuan bahwa laki-laki tersebut menyukainya. Lalu si laki-laki sudah mengetahui jika pergi dan mengatakan rasa suka dan cintanya pasti ditolak oleh si perempuan. Si laki-laki akan menunggu di mana saja. Ketika si perempuan berjalan sendirian maka laki-laki menculiknya lalu membawanya ke rumah lebe (rumah imam masjid) dan rumah ketua adat dan tokoh masyarakat untuk mengatakan londo iha (kawin lari). Dalam hal ini orang tua si perempuan harus mau menerima laki-laki tersebut.

Keempat, londo iha (kawin lari) yang karena dinilai dari status sosial, yakni terkadang perempuan di mata masyarakat memiliki status sosial yang tinggi karena kaya, keturunan ningrat, cantik, terpandang, terpelajar, dan lain lain, maka lak-laki akan mengajaknya londo iha (kawin lari). Dalam hal ini tentu saja atas persetujuan dari laki-laki dan perempuan tadi hanya saja orang tuanya yang tidak setuju.

Kelima, londo iha (kawin lari) yang hanya diketahui oleh si laki-laki saja yang memiliki perasaan cinta dan sayang, Posisi mereka sebagai teman saja, tidak terjadi hubungan apa-apa. Tetapi karena laki-laki ini sangat menyukainya dan dia tahu bahwa orang tua yang perempuan tidak akan menerima dan setuju, diajaklah si perempuan dan teman-teman satu kelompok bermain pergi bertamsya.
 
Lalu setelah pulang dari tamasya sebelum sampai ke rumah pulang kembali, masing-masing dari mereka akan mampir di rumah keluarga si laki-laki. Pada saat itu laki-laki tersebut akan mengatakan kepada si pemilik rumah yang merupakan keluarganya, "Mada doho mai ke waura sambua ade (kami datang sudah satu hati)." Maka menangislah si perempuan karena kaget, namun pada saat itu sudah terjadi londo iha (kawin lari).
 
Peneliti dalam laporannya menyebutkan bahwa kawin lari dalam masyarakat Bima sesungguhnya adalah hal yang buruk. Jika ada salah satu anggota keluarga yang melakukan kawin lari, semua keluarga akan dikenai sanksi sosial dan adat. Mereka tidak dilayani, ditegur sapa, tidak dihargai, dan tidak dihormati.  
 
Masita menuliskan londo iha (kawin lari) londo iha (kawin lari) merupakan perbuatan yang dilakukan oleh sepasang perempuan dan laki-laki yang buruk karena membuat mereka tidak memiliki nilai atau harga di masyarakat. Artinya, status sosial mereka menjadi rendah. Pada masyarakat Nitu londo iha kebanyakan dilakukan oleh keluarga yang tidak menempuh pendidikan. Tetapi, bagi keluarga yang memiliki rata-rata tingkat pendidikan apalagi pendidikan tinggi, tidak akan mungkin melakukan londo iha (kawin lari) karena sudah pasti keluarga mereka akan dihukum secara adat, budaya, dan agama hingga sampa sekarang ini.
 
Penulis: Kendi Setiawan
Editor: Kendi Setiawan