Nasional

Berawal dari Kebiasaan, Tradisi Ghasab Tumbuh Karena Lingkungan Komunal

Sabtu, 22 Oktober 2022 | 21:00 WIB

Berawal dari Kebiasaan, Tradisi Ghasab Tumbuh Karena Lingkungan Komunal

Ilustrasi sandal santri yang dighasab.

Jakarta, NU Online
Tradisi ghasab sering ditemukan hampir di setiap pondok. Memakai barang milik orang lain tanpa izin meskipun tidak dengan niat untuk memiliki tetap saja dinilai sebagai tradisi yang kurang baik. Terlebih di lingkungan pesantren yang banyak diajarkan pendidikan agama.


Pengasuh Pesantren Maslakul Huda Kajen, Pati, Nyai Hj Tutik Nurul Jannah mengamati bahwa ghasab muncul karena kebiasaan yang timbul di pesantren sebab lingkungan kehidupan komunal atau bersama-sama.


“Dalam keseharian, mereka terbiasa menggunakan berbagai fasilitas yang ada secara bersamaan dan secara bergantian. Pada situasi tersebut barang pribadi otomatis akan dianggap sebagai barang bersama seperti pemakaian sandal, ember, jilbab, dan sebagainya yang semestinya adalah milik pribadi. Namun, digunakan secara bergantian tanpa meminta izin pemilik aslinya,” tutur Nyai Hj Tutik kepada NU Online, Sabtu (22/10/2022).


Menurut dia, meskipun sudah menjadi kebiasaan namun hal tersebut tidak seharusnya terjadi secara terus-menerus dan dibiarkan. Bagi santri zaman dahulu mungkin ghasab bukanlah menjadi masalah. Namun, jika terus dibiarkan maka akan terbawa hingga santri tersebut lulus dari pesantren.


“Tentu ini akan menjadi tradisi kurang baik yang melekat pada santri dan merugikan orang lain nantinya, serta akan berdampak pada pandangan pesantren lebih buruk,” ujar menantu KH MA Sahal Mahfudh itu.


Nyai Hj Tutik mengingatkan ghasab harus segera ditanggulangi dengan baik. Meskipun tidak dapat dilakukan secara instan, namun ada tiga hal yang dapat dilakukan.


Pertama, dibutuhkan kesatuan cara pandang mengenai ghasab itu sendiri, baik dari pengasuh, pengurus, maupun santri. Kesatuan cara pandang itu penting karena jika salah satu dari mereka menganggap bahwa ghasab adalah hal yang tidak perlu dipermasalahkan, maka tidak akan ada upaya untuk memutus rantai kebiasaan buruk tersebut.


Kedua, perlu diberikan fasilitas atau sistem yang mempersempit kesempatan untuk ghasab. Misalnya, menyediakan bancikan yang menghubungkan antarbangunan pesantren guna mempermudah santri berpindah tempat untuk melakukan sebuah aktivitas tanpa menggunakan sandal.


“Hal ini menurut saya bisa dilakukan pesantren untuk meminimalisir kebiasaan ghasab sandal teman pada saat akan berangkat kegiatan. Ada juga pesantren yang menyiapkan loker sandal dan loker alat mandi untuk setiap santri, sehingga akan mempermudah santri dalam menyimpan barangnya masing-masing,” imbuhnya.


Ketiga, perlu memberikan penguatan kepada semua pihak di pesantren bahwa ghasab bukanlah kebiasaan baik yang perlu dipertahankan. Sebagai orang pesantren, kita harus terbuka untuk mengevaluasi diri kita sendiri dan bertekad untuk mengubahnya termasuk dalam persoalan ghasab.


Nyai Hj Tutik berpesan bagi setiap orang untuk mengevaluasi diri sendiri. Karena kebiasaan yang baik perlu dipertahankan, sedangkan kebiasaan buruk perlu perbaikan. “Memperbaiki kebiasaan buruk memang butuh perjuangan,” pungkasnya.


Kontributor: Afina Izzati
Editor: Musthofa Asrori