Berubah Jadi Badan Pengaturan, Ekonom Ingatkan Risiko BUMN Jadi Alat Politik
Jumat, 3 Oktober 2025 | 09:00 WIB
Jakarta, NU Online
DPR RI dalam Rapat Paripurna Ke-6 Masa Persidangan I Tahun Sidang 2025-2026 resmi mengesahkan perubahan keempat atas Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Kamis (2/10/2025). Salah satu poin krusial dari revisi tersebut adalah transformasi Kementerian BUMN menjadi Badan Pengaturan (BP) BUMN.
Ekonom Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia) Muhammad Aras Prabowo menilai selama ini BUMN memikul dua fungsi utama, yaitu sebagai entitas bisnis sekaligus instrumen kebijakan negara.
Transformasi menjadi BP BUMN, menurutnya, berpotensi memperkuat fungsi regulasi dan pengawasan serta menghindari tumpang tindih peran antara pemerintah sebagai pemegang saham dan regulator.
"Namun, di sisi lain, jika tidak hati-hati, ia bisa menjelma menjadi alat politik baru yang membuka ruang oligarki," katanya saat dihubungi NU Online, Jumat (3/10/2025).
Aras menegaskan, perubahan tersebut tidak dapat dibaca hanya sebatas persoalan kelembagaan.
“Perubahan ini harus dibaca bukan hanya dari aspek kelembagaan, melainkan juga dari arah ideologi ekonomi nasional," ujarnya.
Ia menekankan pentingnya akuntabilitas dan transparansi dalam menjalankan fungsi badan baru tersebut. Menurutnya, tanpa pengawasan independen, lembaga itu bisa menjadi kekuatan yang tidak sehat dalam tata kelola BUMN.
“Tanpa mekanisme pengawasan yang independen, lembaga ini berisiko menjadi ‘pemain sekaligus wasit’,” tegasnya.
Karena itu, Aras mendorong adanya desain kelembagaan yang memisahkan secara tegas fungsi pengelolaan aset, regulasi, dan bisnis. Bila pemisahan tidak dilakukan, justru akan muncul praktik rente baru yang menjauh dari kepentingan rakyat.
“Pengawasan harus terintegrasi hingga level daerah, agar tidak hanya menjadi jargon pusat, tetapi menyentuh operasional perusahaan pelat merah di seluruh wilayah,” tambahnya.
Lebih jauh, Aras menekankan bahwa UU baru ini harus menjadi instrumen penguatan ekonomi kerakyatan. Ia mengingatkan bahwa BUMN tidak boleh sekadar menjadi institusi bisnis besar yang terpisah dari rakyat.
“Tetapi harus menjadi lokomotif pemberdayaan UMKM, koperasi, petani, nelayan, dan pelaku usaha menengah ke bawah,” paparnya.
Dalam konteks agraria, lanjutnya, BUMN dapat hadir mendukung ketahanan pangan melalui distribusi pupuk hingga penyediaan lahan produktif.
"Sementara dalam konteks maritim, BUMN dapat membuka akses logistik dan transportasi laut yang murah bagi masyarakat pesisir. Inilah bentuk keberpihakan konkret yang saya maksud," ujarnya.