Bongkar Pasang Kebijakan PCR, hingga Dugaan Praktik Bisnis di Dalamnya
Rabu, 3 November 2021 | 15:15 WIB
Jakarta, NU Online
Kebijakan pemerintah terus mengalami perubahan terkait tes Polymerase Chain Reaction (PCR) sebagai syarat perjalanan transportasi udara dan darat dinilai plin-plan. Dalam dua minggu terakhir, pemerintah tercatat telah tiga kali mengubah syarat perjalanan transportasi udara.
Pertama, melalui aturan yang tertuang dalam Surat Edaran (SE) Menteri Perhubungan Nomor 88 Tahun 2021 tentang Petunjuk Pelaksanaan Perjalanan Orang Dalam Negeri dengan Transportasi Udara pada Masa Pandemi Covid-19.
Tertulis bahwa calon penumpang pesawat wajib menunjukan hasil negatif tes PCR 2X24 jam sebelum keberangkatan. Dengan batas tarif saat itu yang mencapai Rp495 ribu di Jawa-Bali dan Rp525 ribu di daerah lain. Hal itu berlaku pada pada 24 Oktober 2021, setelah dikeluarkan Instruksi Menteri Dalam Negeri (Inmendagri) Nomor 53 Tahun 2021 tentang Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat Level 3, Level 2, dan Level 1 Covid-19 di Jawa-Bali.
Kedua, pemerintah melalui Kementerian Kesehatan kemudian menurunkan batas tarif tes PCR. Berlaku dari 27 Oktober 2021, batas tarif tertinggi untuk pemeriksaan PCR adalah Rp275 ribu di Jawa-Bali dan Rp300 ribu di luar Jawa-Bali.
Ketiga, Menteri Dalam Negeri Muhammad Tito Karnavian melakukan perubahan instruksi terkait aturan masa berlaku tes PCR menjadi 3X24 jam. Inmendagri tersebut diikuti dengan keluarnya SE Nomor 90 Tahun 2021 tentang Perubahan atas surat Edaran Menteri Perhubungan Nomor SE 86 Tahun 2021 tentang Pentunjuk Pelaksanaan Perjalanan Orang Dalam Negeri dengan Transportasi Darat pada Masa Pandemi Covid-19.
Terbaru, pada 1 November 2021, aturan mengalami perubahan kembali. Pemerintah melalui Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) Muhadjir Effendy mengatakan adanya perubahan aturan ihwal pelaku perjalanan moda transportasi udara. Ia menyebutkan jika penumpang tidak lagi diwajibkan menunjukan hasil tes negatif PCR.
“Untuk perjalanan, akan ada perubahan yaitu untuk wilayah Jawa dan Bali perjalanan udara tidak lagi mengharuskan menggunakan tes PCR, tetapi cukup menggunaka tes antigen. Sama dengan yang sudah diberlakukan untuk wilayah luar Jawa non-Bali,” ujar Muhadjir pada konferensi pers virtual, Senin (1/11/2021).
Menyoroti perubahan tersebut, Pengamat Kebijakan Publik Agus Pambagio mengatakan bahwa pola perubahan semacam itu menunjukan kekalutan pemerintah yang sulit dikendalikan. Masyarakat dan aparat pelaksana di lapangan dinilai sebagai kelompok paling terdampak pada gonta-ganti kebijakan yang cepat tersebut.
Ia juga sempat menyentil penggunaan SE Instruksi Mentri yang selama ini digunakan. Menurutnya, instruksi semacam itu hanya bisa diberlakukan kepada jajaran di bawahnya, bukan untuk masyarakat luas. Karena sifatnya yang internal, SE menjadi tidak berkekuatan hukum di luar jajarannya.
“Karena SE itu sifatnya internal dan tidak berkekuatan hukum, lantas bagaimana untuk mengatur kebijakan. Dengan menggunakan itu ya, bisa berubah-ubah. Mana ada peraturan 3 hari diganti,” terang Agus pada telewicara CNN, Selasa (2/11/2021).
Kebijakan yang plin-plan tersebut menurutnya memicu kecurigaan masyarakat terhadap adanya kepentingan bisnis terkait wajib PCR tersebut. “Ini menunjukan kekalutan yang sulit dikendalikan dan sebenarnya siapa yang mengatur regulasi ini. Pemerintah atau ada kelompok manusia lain?” katanya.
Dugaan praktik bisnis tes PCR
Kecurigaan adanya praktik bisnis di balik kebijakan tes PCR tersebut diungkapkan dalam laporan Majalah Tempo. Disebutkan terdapat beberapa pejabat yang terindikasi memiliki kepentingan bisnis atas kebijakan tersebut, salah satunya adalah Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) yang juga menjabat sebagai Koordinator PPKM Jawa-Bali, Luhut Binsar Pandjaitan.
Namun, Juru Bicara Menko Marves Luhut Pandjaitan, Jodi Mahardi membantah adanya keterlibatan Luhut dalam bisnis PCR tersebut. Ia menerangkan PT Genomik Solidaritas Indonesia (GSI) yang disebut ada afiliasi dengan Luhut dikatakan tidak bekerja sama dengan BUMN dan pemerintah.
Terkait GSI, Jodi juga menyebutkan Luhut diajak oleh grup Adaro, Indika, dan Northstar. Perusahaan tersebut digadang menjadi salah satu pihak yang memberikan pelayanan testing gratis di masa awal pandemi. Terdapat 9 pemegang saham dengan mayoritas dimiliki yayasan Indika dan Adaro.
“GSI ini tujuannya bukan untuk mencari profit bagi para pemegang saham. Sesuai namanya GSI ini Genomik Solidaritas Indonesia, memang ini adalah kewirausahaan sosial. malah di awal-awal GSI ini gedungnya diberikan secara gratis oleh salah satu pemegang sahamnya, agar bisa cepat beroperasi pada periode awal dan membantu untuk melakukan testing Covid-19,” terang Jodi.
Kontributor: Nuriel Shiami Indiraphasa
Editor: Aiz Luthfi