Budaya Membaca Jadi Dasar Membangun Rasa Cinta Tanah Air
Jumat, 10 Oktober 2025 | 16:15 WIB
Diskusi bertema Menjadi Indonesia Cinta dan Gagasan untuk Indonesia di Plaza Promenade, Taman Ismail Marzuki, Menteng, Jakarta Pusat, Jumat (10/10/2025). (Foto: NU Online/Mufidah)
Jakarta, NU Online
Founder Kayuh Literasi Indira Ratna menilai budaya membaca tidak sekadar urusan akademik, tetapi menjadi dasar membangun rasa cinta terhadap tanah air dan jembatan antara kesadaran diri, kepedulian sosial, serta kemampuan berpikir kritis sebagai fondasi kebangsaan yang kuat.
“Pantas saja literasi kita masih rendah, karena belum ada kesadaran menjadikan membaca sebagai kebutuhan,” ujar Indira dalam diskusi bertema Menjadi Indonesia Cinta dan Gagasan untuk Indonesia di Plaza Promenade, Taman Ismail Marzuki, Menteng, Jakarta Pusat, Jumat (10/10/2025).
Indira menambahkan, banyak anak belum lancar membaca dan menulis meski tinggal di wilayah yang tidak jauh dari ibu kota dan untuk menjawab tantangan itu. Ia bersama Kayuh Literasi berinisiatif membuat pojok baca di ruang kelas untuk menumbuhkan minat baca anak sejak dini dan mendorong guru agar aktif membimbing literasi dasar di sekolah.
Indira juga menekankan bahwa upaya literasi harus melibatkan masyarakat secara luas, pemerintah dan sekolah.
“Kami ingin literasi menjadi gerakan hidup. Membaca bukan hanya di kelas, tapi juga di rumah, di komunitas, bahkan di jalanan. Karena literasi bukan kegiatan elitis, tapi kebutuhan dasar manusia untuk memahami dunianya,” ungkapnya.

Sementara itu, Penulis Buku Semua Suka Mengabdi, AM Syarif menilai rendahnya minat baca disebabkan karena masyarakat belum terbiasa menuntaskan bacaan.
“Kita ini lebih sering membaca setengah, lalu berhenti di tengah jalan. Padahal, menyelesaikan satu buku sampai tuntas itu latihan untuk melatih fokus dan ketekunan,” ujarnya.
Menurut Syarif, kemampuan membaca tuntas berpengaruh pada kemampuan berpikir dan berdialog. Ia juga menekankan pentingnya budaya menulis sebagai bagian dari literasi.
“Sering kali kita sibuk berdiskusi, tapi tidak punya bahan bacaan. Akibatnya, pembicaraan hanya berputar pada pendapat orang lain, bukan gagasan kita sendiri,” ucapnya.
“Kalau kita tidak menulis, kita kehilangan jejak refleksi. Setiap perjalanan dan pengalaman harusnya dicatat agar bisa menjadi sumber pengetahuan baru,” tambahnya.
Syarif menekankan bahwa literasi merupakan bentuk cinta kepada bangsa melalui pengetahuan karena kemajuan negara tidak hanya ditentukan oleh pembangunan fisik, tetapi juga masyarakatnya mampu berpikir kritis.
“Cinta tanah air itu tidak cukup dengan slogan. Ia harus diwujudkan lewat upaya memahami, membaca, menulis, dan menyebarkan gagasan yang mencerahkan,” pungkasnya.