Bukan Hanya Soal Agama, Produk Halal Sudah Jadi Gaya Hidup Konsumen
Sabtu, 29 Juli 2023 | 10:00 WIB
Kepala BPJPH Kemenag RI Muhammad Aqil Irham saat diwawancarai NU Online di sela Media Gathering BPJPH bertema Updating Kebijakan Sertifikasi Halal: Strategi Menjaga Kehalalan Produk Sesuai Regulasi JPH, di Jakarta, Jumat (28/7/2023). (Foto: NU Online/Indiraphasa)
Jakarta, NU Online
Status halal produk sering kali menjadi perhatian penting bagi sebagian konsumen. Terutama bagi mereka yang memegang keyakinan agama tertentu yang mewajibkan mengonsumsi makanan dan produk lainnya yang halal.
Namun, pendekatan pelaku usaha dalam memutuskan untuk menghadirkan produk halal tidak hanya berhubungan dengan aspek agama semata. Tetapi, juga memiliki kaitan dengan beragam aspek lainnya. Termasuk gaya hidup dan strategi branding dan pemasaran.
Hal ini disampaikan Kepala Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Kementerian Agama (Kemenag) Muhammad Aqil Irham dalam Media Gathering BPJPH bertema Updating Kebijakan Sertifikasi Halal: Strategi Menjaga Kehalalan Produk Sesuai Regulasi JPH, di Jakarta, Jumat (28/7/2023).
“Halal bagi orang luar Korea, Jepang, bukan soal agama. Isunya bukan agama. (Tetapi) soal industri, market, soal keuntungan, branding image, kesehatan, mutu, kualitas, trust kepercayaan konsumen. Itu halal bagi pelaku usaha menengah besar,” jabar Aqil.
Menurutnya, sertifikasi halal bagi perusahaan dapat memperoleh kredibilitas di kalangan konsumen. Dengan memasarkan produk halal, perusahaan dapat menjangkau pasar yang lebih luas, termasuk orang-orang yang mencari produk halal karena alasan agama maupun non-agama.
Bahkan, produk-produk yang didaftarkan kehalalannya bukan terbatas pada makanan semata, melainkan juga produk lain seperti kosmetik. “Bukan hanya makanan, kosmetik halal. Mereka memandang halal itu soal branding, lifestyle juga bagi konsumen,” tutur Wasekjen Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) tersebut.
Namun persoalannya, sambung dia, sertifikasi halal belum begitu dilirik oleh pelaku usaha mikro dan kecil di Tanah Air. Ini karena sebagian dari mereka masih memiliki anggapan bahwa urusan tersebut masih berada di ranah agama.
“Bagi usaha mikro (seperti) PKL di jalan itu masih menganggap ini soal agama. Belum tahu soal value, competitiveness itu nggak paham, hanya soal agama. ‘Ngapain gua repot-repot ngurus halal ini kan sudah jelas halal.’ Makanya kita edukasi terus menerus,” paparnya.
Peran media dorong sertifikasi halal
Dalam proses mengedukasi tersebut, Stafsus Menag Bidang Komunikasi dan Media Wibowo Prasetyo menilai peran strategis media sangat penting dalam mendorong akselerasi, sosialisasi, dan edukasi kepada pelaku usaha tentang produk bersertifikasi halal.
“Teman-teman media sangat dibutuhkan dalam sosialisasi pentingnya sertifikasi halal kepada pelaku usaha. Media bisa menjadi garda terdepan untuk memberikan sosialisasi sertifikat halal,” kata dia.
Sepakat dengan Kepala BPJPH, Wibowo menegaskan bahwa melakukan sertifikasi halal tidak hanya bersifat mandatori. Tetapi, juga menjadi sebuah benefit dan keuntungan bagi pengusaha ketika produk halal ini menjadi sebuah kewajiban.
“Kita ingin memberikan rasa aman kepada publik, bahwa produk yang ada di Indonesia ini sudah melalui sebuah langkah terukur. Semuanya yang kita makan bisa cepat disertifikasi kehalalannya melalui BPJPH,” ungkapnya.
Pemberlakuan kewajiban bersertifikat halal secara resmi akan dimulai pada 17 Oktober 2024. Aturan ini berlaku untuk produk makanan, minuman, hasil sembelihan dan jasa penyembelihan. Selain itu, bahan baku, bahan tambahan pangan, dan bahan penolong untuk produk makanan dan minuman.