Nasional

Bulan Rajab: Anjuran Qadha Puasa Ramadhan dan Konsekuensi Jika Terlewat

Ahad, 28 Desember 2025 | 22:00 WIB

Bulan Rajab: Anjuran Qadha Puasa Ramadhan dan Konsekuensi Jika Terlewat

Ilustrasi puasa. (Foto: NU Online)

Jakarta, NU Online

Bulan Rajab merupakan salah satu bulan yang dimuliakan dalam Islam. Di tengah anjuran memperbanyak amal saleh, Rajab juga menjadi momentum penting untuk menunaikan kewajiban ibadah yang masih tertunda, terutama qadha puasa Ramadhan. 


Bagi umat Islam yang masih memiliki utang puasa karena uzur syar’i seperti sakit, haid, nifas, atau safar, Rajab dapat menjadi waktu yang tepat untuk menyelesaikan tanggungan tersebut sebelum datang Ramadhan berikutnya.


Dalam kajian fiqih, qadha puasa adalah kewajiban mengganti puasa Ramadhan yang ditinggalkan di luar waktunya. Hal ini ditegaskan oleh KH Arwani Faishal dalam artikelnya yang berjudul Cara Meng-qadha atau Mengganti Puasa.


“Qadha puasa Ramadhan berarti puasa Ramadhan itu dilaksanakan sesudah bulan Ramadhan," tulis Kiai Arwani sebagaimana dikutip pada Ahad (28/12/2025).


Penjelasan ini menunjukkan bahwa qadha puasa bukanlah ibadah tambahan, melainkan kewajiban yang melekat pada orang yang meninggalkan puasa Ramadhan karena alasan yang dibenarkan syariat.


Kiai Arwani juga mengatakan bahwa kewajiban qadha tersebut memiliki dasar yang kuat dalam Al-Qur’an. Allah swt berfirman dalam Surah Al-Baqarah ayat 184 yang menjelaskan bahwa orang yang tidak berpuasa karena sakit atau dalam perjalanan wajib menggantinya pada hari lain. 


Meskipun syariat memberi kelonggaran waktu dalam melaksanakan qadha puasa, para ulama mengingatkan agar kewajiban ini tidak ditunda tanpa alasan yang sah.


Dalam artikel Cara Mengganti Puasa yang Bolong, KH Mahbub Ma'afi Ramdlan menjelaskan bahwa puasa yang ditinggalkan tetap menjadi tanggungan yang harus diganti sesuai jumlah hari yang ditinggalkan. Penundaan tanpa uzur dikhawatirkan menimbulkan konsekuensi tambahan dalam pandangan sebagian ulama.


Konsekuensi tersebut antara lain adalah kewajiban fidyah, di samping tetap harus mengqadha puasa. Mayoritas ulama—selain mazhab Hanafi—berpendapat bahwa orang yang menunda qadha puasa hingga masuk Ramadhan berikutnya tanpa uzur syar’i wajib membayar fidyah dengan memberi makan fakir miskin. 


Ketua Lembaga Bahtsul Masail Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (LBM PBNU) itu mengutip pendapat Syaikh Wahbah az-Zuhaili dalam Kitab al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu.


“Begitu juga wajib membayar fidyah beserta qadha menurut mayoritas ulama (selain mazhab Hanafi) atas orang yang melalaikan qadha puasa Ramadhan kemudian ia menunda qadha tersebut sampai datangnya puasa berikutnya, sejumlah puasa yang ditinggalkan karena diqiyaskan dengan orang yang membatalkan puasa puasa dengan sengaja. Sebab keduanya sama-sama dianggap orang yang tidak menghormati kemulian puasa," tulisnya mengutip Syekh Wahbah.


Kiai Mahbub mengatakan bahwa besarnya fidyah yang harus dibayar adalah 1 mud atau sekitar kurang lebih 7 ons beras untuk setiap puasa yang ditinggalkan yang diberikan kepada orang miskin. Bahkan, lanjutnya, menurut pendapat yang kuat dalam mazhab Syafi’i, fidyahnya bisa berlipat ganda sesuai dengan kelipatan tahun pendundaanya. 


"Misalnya, jika seseorang pada tahun 2009 tidak melakukan puasa selama lima hari dan baru diqadha pada tahun 2014 ia wajib membayar fidyah empat kali lipat. Dan jumlah keseluruhannya jadi 20 mud. Tetapi menurut mazhab Maliki dan Hanbali fidyah-nya tidak berlipat ganda," terangnya.


Hal ini menunjukkan bahwa menunda qadha puasa bukan hanya persoalan waktu, tetapi juga dapat menambah beban ibadah di kemudian hari.


Memasuki bulan Rajab, muncul pertanyaan di tengah masyarakat tentang praktik penggabungan niat puasa. Apakah boleh seseorang menggabungkan niat puasa Rajab dengan qadha puasa Ramadhan?


Ustadz M Mubasysyarum Bih menyebutkan bahwa menggabungkan niat puasa Rajab dengan puasa qadha’ Ramadhan hukumnya diperbolehkan (sah) dan pahala keduanya bisa didapatkan. Demikian dikutip dari artikelnya yang berjudul Bolehkah Niat Puasa Rajab Digabung dengan Qadha Puasa Ramadhan?


Lebih lanjut, ia menerangkan bahwa kebolehan ini didasarkan pada pandangan ulama Syafi’iyah. Ia kemudian mengutip pendapat Syekh al-Barizi yang menyatakan bahwa seseorang yang berpuasa dengan niat qadha Ramadhan pada hari-hari bulan Rajab tetap akan memperoleh pahala puasa Rajab, meskipun niat yang dilafalkan hanya niat qadha. Dengan demikian, mendahulukan kewajiban tidak menghalangi datangnya keutamaan ibadah sunnah.


Meski demikian, kebolehan menggabungkan niat ini tidak boleh dipahami sebagai kelonggaran untuk menyepelekan qadha puasa.


Dalam artikel Cara Meng-qadha atau Mengganti Puasa, Kiai Arwani menegaskan bahwa qadha puasa termasuk puasa wajib, sehingga niatnya harus ditentukan secara jelas sebagai qadha Ramadhan dan dilakukan sejak malam hari sebelum fajar. Tanpa niat yang benar, puasa tersebut tidak sah sebagai qadha, meskipun bertepatan dengan hari-hari puasa sunnah.


Oleh karena itu, bulan Rajab seharusnya menjadi momen refleksi spiritual. Bukan hanya berlomba-lomba memperbanyak puasa sunnah, tetapi juga menyelesaikan kewajiban yang masih menjadi tanggungan.