BUMN Perlu Diposisikan sebagai Penyelenggara Negara agar Bisa Diawasi BPK dan KPK
Kamis, 25 September 2025 | 06:00 WIB
Jakarta, NU Online
Komisi VI DPR RI tengah menggodok usulan penting dalam revisi Undang-Undang BUMN. Salah satu poin yang mencuat adalah menjadikan BUMN sebagai penyelenggara negara sehingga terbuka ruang untuk kembali diaudit oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan diperiksa oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) yang digelar di ruang Komisi VI DPR RI menghadirkan sejumlah pakar hukum dari berbagai perguruan tinggi, mulai dari Universitas Indonesia, Universitas Gadjah Mada, STIH IBLAM, hingga Universitas Jenderal Soedirman.
Anggota Komisi VI DPR RI, Rieke Diah Pitaloka, menyampaikan apresiasinya atas masukan dari para narasumber. Menurutnya, paparan tersebut memperkuat pandangan DPR bahwa BUMN perlu diposisikan sebagai penyelenggara negara.
"Saya mengucapkan terima kasih sekali bahwa apa yang dipaparkan oleh keempat narasumber ini menguatkan pandangan bahwa BUMN sebagai penyelenggara negara, sehingga para pihak yang terlibat di dalam operasional itu juga terkena hal-hal yang menjadi kewajiban pada pejabat penyelenggara negara, termasuk diaudit oleh BPK dan termasuk bisa diperiksa oleh KPK," kata Rieke dilansir NU Online melalui TV Parlemen Rabu (24/9/2025).
Politisi PDI Perjuangan itu juga menyinggung problem kerugian yang dialami sejumlah BUMN. Menurutnya, ada kasus di mana kerugian dari penugasan pemerintah dibebankan kepada BUMN meski secara perhitungan proyek tersebut sebenarnya tidak layak.
"Terkait tadi teman-teman mengatakan ada kerugian negara, ini apakah kerugian BUMN masuk secara 100% sebagai kerugian negara? Nah, ini yang kami butuh masukan ke depan pimpinan, karena beberapa kasus menunjukkan tadi ada BUMN-BUMN yang mendapatkan penugasan negara, tapi ketika penugasan itu rugi, misalnya seperti kereta api cepat, lalu dibebankan kepada BUMN-nya," ujarnya.
Rieke menilai sejumlah proyek penugasan pemerintah kepada BUMN kerap dipaksakan meski secara kajian kelayakan tidak memenuhi syarat. Ia mengingatkan, tanpa penugasan, BUMN sebenarnya tidak akan menjalankan proyek yang justru berisiko membahayakan kondisi keuangan negara.
"Padahal, dia kalau tidak ditugaskan, dia tidak menyelenggarakan itu, karena berdasarkan feasibility, tadi itu adalah proyek yang sebetulnya tidak qualified dan berbahaya bagi keuangan negara," tambahnya.
Rieke menekankan, direksi hingga komisaris BUMN semestinya diperlakukan sebagai pejabat negara. Dengan begitu, mereka bisa dimintai pertanggungjawaban penuh melalui mekanisme audit dan pemeriksaan hukum.
"Nah, ada poin-poin seperti ini yang menurut saya pertama jelas BUMN, para pemangku, direksi, komisaris, dan seterusnya adalah pejabat negara, bagian dari penyelenggara negara, dan bisa terkena dan harus diaudit oleh BPK serta bisa diperiksa oleh KPK," tegasnya.
Meski demikian, ia memberi catatan kritis. Jangan sampai seluruh kerugian BUMN otomatis menjadi beban negara. Apalagi, katanya, ada sejumlah BUMN yang sudah berkali-kali mendapat suntikan dana pemerintah tetapi tetap saja merugi.
"Tapi pertanyaannya adalah mungkinkah kami kemudian membuka suatu ruang hukum yang tidak serta-merta semua kerugian, dan kalau misalnya kerugian BUMN adalah kerugian negara, maka secara otomatis kalau dia rugi, negara harus menanggung," kata Rieke.
Rieke menegaskan pentingnya membedakan antara kerugian BUMN dan kerugian negara. Ia mengkritisi pola suntikan dana pemerintah yang terus diberikan, namun sejumlah BUMN karya tetap tidak menunjukkan kinerja sehat. Menurutnya, tidak seharusnya semua kerugian otomatis dibebankan kepada negara.
"Padahal, ini jadi hal penting, kalau misalnya suatu BUMN rugi, apakah 100% harus ditanggung oleh negara? Dengan suntikan-suntikannya, seperti beberapa BUMN karya yang tidak sehat-sehat juga meskipun sudah disuntik," imbuhnya.
Sementara itu, wacana lain juga muncul dalam revisi UU BUMN terkait status kelembagaan Kementerian BUMN. Wakil Ketua DPR RI, Sufmi Dasco Ahmad mengungkapkan bahwa ada pembahasan untuk menurunkan status Kementerian BUMN menjadi badan.
"Dia sendiri tetap. Badan Penyelenggara Badan Usaha Milik Negara. Badan Penyelenggara BUMN," ujar Dasco di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (24/9/2025).
Dasco menjelaskan, sebagian besar fungsi Kementerian BUMN kini telah diambil alih oleh Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (BPI Danantara). Menurutnya, kementerian saat ini hanya berperan sebagai regulator serta pemegang saham Seri A.
"Nah, kemudian di situ fungsi dari BUMN kan itu sudah, Kementerian BUMN kan itu sudah sebagian besar diambil oleh Danantara. Nah, sehingga tinggal fungsinya dari Kementerian BUMN itu adalah regulator pemegang saham seri A dan menyetujui RPP," kata Dasco.
Dengan pertimbangan itu, lanjut Dasco, muncul gagasan untuk menurunkan status kelembagaan dari kementerian menjadi badan.
"Nah, sehingga dengan pertimbangan-pertimbangan itu ada kemudian keinginan untuk menurunkan status dari kementerian menjadi badan. Itu yang kira-kira kemudian sedang dibahas sekarang, nanti kita lihat aja hasil pembahasan," jelasnya.
Seperti diketahui, pemerintah secara resmi telah menyampaikan Rancangan Undang-Undang tentang perubahan keempat UU BUMN kepada DPR. Komisi VI bersama pemerintah, yang diwakili Menteri Hukum, Menteri Sekretaris Negara, dan Menteri PAN-RB, telah menggelar rapat kerja perdana untuk membahas RUU tersebut.
Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi menegaskan perlunya transformasi kelembagaan agar BUMN mampu berkontribusi lebih besar terhadap perekonomian nasional.
"Untuk mengoptimalkan pengelolaan BUMN dibutuhkan transformasi kelembagaan guna memberi kontribusi perekonomian nasional. Karena itu kebijakan itu hanya dapat dilakukan dengan melakukan perubahan UU BUMN," ujar Prasetyo di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (23/9/2025).
Usai rapat, Prasetyo juga mengonfirmasi adanya wacana untuk menurunkan status Kementerian BUMN. "Ada kemungkinan kementeriannya mau kita turunkan statusnya menjadi badan. Ada kemungkinan seperti itu," ujar Prasetyo.