BWI Sebut Tiga Hal Wujudkan Kesejahteraan Masyarakat melalui Wakaf Produktif
Rabu, 18 November 2020 | 09:30 WIB
Jakarta, NU Online
Wakaf produktif menjadi salah satu andalan Badan Wakaf Indonesia (BWI) untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat Indonesia. BWI terus memperkuat pengelolaan wakaf dengan tata kelola yang baik. Wakaf produktif yang dimaksud BWI bukanlah sekadar aset tanah semata, tetapi wakaf tunai, wakaf saham, atau jenis wakaf yang lainnya.
Sejauh ini, kampanye mengajak orang berwakaf melalui berbagai saluran dari yang konvensional sampai dengan pemanfaatan media sosial dan aplikasi telah dimasifkan oleh lembaga yang didirikan tahun 2004 ini. BWI hadir untuk mendorong percepatan pengelolaan wakaf yang lebih baik di Indonesia sehingga upaya mensejahterakan masyarakat benar-benar terealisasi.
Menurut Ketua BWI, M Nuh, ada tiga hal yang terus diperkuat oleh pihaknya untuk mendorong kesejahteraan masyarakat melalui wakaf. Pertama sosialisasi yang tiada henti, kegiatan tersebut sengaja dilakukan untuk mendorong adanya wakif (pewakaf) baru. Pada sosialisasi itu pula BWI menguatkan literasi terkait wakaf.
“Dari literasi itulah muncul kesadaran, dari kesadaran itu akan muncul untuk melaksanakan, menyerahkan sebagian asetnya untuk kepentingan publik dan saat itu pula insyallah akan melanjutkan tradisi budaya life style tentang perwakafan,” kata M Nuh yang juga salah satu Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) saat membuka kegiatan Forum Kajian Wakaf yang digelar secara virtual, Rabu (18/11).
Hal kedua yang terus diperkuat oleh BWI yakni mobilisasi aset. Menurut mantan Menteri Pendidikan era Presiden Soesilo Bambang Yudhoyoni (SBY) itu, pada kesempatan ini BWI mencari cara agar aset-aset umum dapat dikonversi menjadi aset wakaf.
Untuk mendukung itu, BWI banyak berkomunikasi dengan beberapa pihak agar aturan terkait fasilitas umum atau fasilitas sosial dapat segera hadir dan menjadi penguat dilakukannya konversi wakaf produktif.
“Memberikan layanan terbaik melalui Fasum (fasilitas umum) atau Fasos (fasilitas sosial) yang dikonversi menjadi wakaf produktif ada dimensi spirtualitasnya. Dan saya kira ini hakikat dari sila satu di Pancasila, ada nilai religiusitasnya,” tuturnya.
Ketiga BWI fokus meningkatkan kapasitas penerima harta benda wakaf (nazhir). Mereka akan dilatih dan dibina oleh BWI agar mampu mengelola harta benda wakaf yang telah diberikan oleh BWI.
Aset wakaf dan nazhir, lanjut M Nuh, menjadi dua hal yang sangat penting untuk diperhatikan oleh BWI. Sebab tanpa nazhir aset wakaf tidak akan memberikan manfaat yang luas kepada umat. Sebaliknya, jika tidak ada aset wakaf, tidak ada sesuatu yang dapat dikelola. Akhirnya keduanya harus seimbang.
“Pengelolaanya harus cakap, berintegritas, kompoten dan militan dalam mengelola aset-aset wakaf tadi, tugas ini tak akan berhenti sampai disini,” katanya.
Untuk diketahui, berdasarkan data di BWI terdapat sekitar 420 ribu hektar tanah wakaf yang ada di Indonesia. Luas tanah tersebut ternyata lima kali luas Singapura yang hanya 72.150 hektar.
Namun, potensi yang sangat besar tersebut masih belum dimanfaatkan secara maksimal. Pemanfaatan lahan wakaf sebagian besar masih untuk kepentingan sosial seperti masjid, madrasah, dan makam.
Wakaf produktif yang mampu menyejahterakan umat, belum mendapatkan perhatian yang memadai. Saat ini BWI sedang mengupayakan hal tersebut. Sehingga wakaf produktif mampu memberikan kontribusi yang nyata menghadapi ketimpangan sosial yang terjadi.
Pewarta: Abdul Rahman Ahdori
Editor: Aryudi A Razaq