Jakarta, NU Online
Di masa-masa awal belajar, kita pasti sering terobsesi untuk banyak membaca buku. Dalam setahun, misalnya, ingin menargetkan khatam membaca buku ini dan itu. Tentu saja, keinginan seperti itu adalah hal yang positif.
Keinginan kuat untuk banyak membaca buku adalah hal positif yang perlu disyukuri. Tapi problemnya, kadang kita lupa dengan hal lain yang lebih penting ketimbang membaca banyak buku, yakni mematangkan wawasan yang kita terima dari apa yang telah kita baca.
Lalu, sebenarnya bagaimanakah cara membaca buku yang baik? Membaca banyak buku tapi hanya sekilas demi sekilas, atau membaca sedikit buku tapi dengan pembacaan yang serius dan mantap?
Baca Juga
Hukum Menggunakan Buku Primbon
Mengutip Muhammad Nuruddin dalam bukunya yang berjudul “Panduan Praktis Agar Kita Gila Membaca & Menulis” pada Ahad (19/5/2024) disebutkan bahwa ketika membaca suatu buku atau bahkan bahan bacaan lainnya kita harus lebih memperhatikan kualitas yang kita dapatkan dari membaca buku dibandingkan jika hanya memperhatikan kuantitasnya saja.
Hal tersebut menurutnya, karena sebanyak apapun buku yang kita baca, kalau tidak mampu mengendapkan wawasan yang matang, perlahan namun pasti wawasan yang kita dapatkan pasti akan segera hilang. Namun sebaliknya, meskipun buku yang kita baca sedikit, jika dimatangkan dengan baik, maka pada gilirannya akan mampu meningkatkan kualitas intelektual kita.
Hal tersebut menurutnya adalah keteladanan yang diajarkan oleh para ulama terdahulu yakni membaca buku berkali-kali. Shalahuddin as-Shafadi, dalam kitab al-Wafi bil Wafayat, sebagaimana dikutip oleh Syekh Abdul Fattah Abu Ghuddah, bercerita tentang kisah Abu Nashr al-Farabi (w. 339 H), salah satu filsuf Muslim terbesar yang diberi gelar sebagai "al-Muallim at Tsani" (the second teacher).
Suatu ketika, tuturnya dalam kitab tersebut, ditemukan kitab an-Nafs yang dinisbatkan kepada Aristoteles. Dalam buku tersebut terdapat tulisan yang ditulis oleh langsung oleh al- Farabi, "Aku telah membaca buku ini dua ratus kali.”
Dikatakan juga mengenainya, bahwa dia pernah membaca buku yang berjudul as-Sama at-Thabi'iy, yang dikarang oleh Aristoteles, sebanyak empat puluh kali. Dan kata al-Farabi, "Aku masih butuh untuk mengulangnya lagi."
Salah satu kisah populer tentang Ibnu Sina menceritakan bahwa dia pernah membaca kitab Ma Ba'da at-Thabiah, milik Aristoteles, sebanyak 40 kali. Sampai beliau hafal isinya. Namun, meski hafal, dia tak kunjung paham.
Baca Juga
Menjadikan Buku sebagai Suluh
"Ini kitab yang tidak bisa dipahami," gumamnya sambil putus asa.
Tiba-tiba pada suatu hari ada seorang penjual buku yang menawarkan salah satu buku jualannya, "Belilah, buku ini murah. Cuma 3 dirham saja," kata si penjual.
Ringkas cerita buku itu pun dibeli oleh Ibnu Sina. Dan ternyata, buku itu adalah buku yang ditulis oleh Abu Nasir al Farabi, yang menjelaskan tentang kitab Aristoteles tadi. "Aku pun pulang ke rumahku, lalu aku baca buku itu, maka ketika itu juga tersingkaplah bagiku maksud maksud dari kitab itu. Aku sangat gembira. Dan aku pun bersedekah sebanyak mungkin,” katanya.
Jangan lupa. Ibnu Sina bukan orang biasa. Otaknya genius. Wawasannya mencakup sekian banyak disiplin ilmu. Tapi beliau membaca buku sampai 40 kali. Tidak langsung paham pula. Baru paham setelah membaca buku yang lain. Begitulah kebiasaan para ulama terdahulu.
Sangat wajar kalau mereka menjadi ulama ulama hebat. Wawasan yang matang hanya bisa terlahir dari pembacaan yang berulang-ulang. Sekarang mari kita bandingkan cara belajar kita dengan cara belajar mereka.
Mungkin itulah salah satu sebab kenapa sekarang kita agak kesusahan dalam mengikuti jejak produktivitas para ulama dalam berkarya. Karena kita malas membaca. Jangankan membaca berulang-ulang. Membaca satu kali saja, malasnya minta ampun.