Dampak Serius Militerisme: Intervensi di Ranah Sipil hingga Terbentuknya Pemerintahan Otoriter
Kamis, 9 Oktober 2025 | 16:30 WIB
Direktur Imparsial Ardi Manto dalam Seminar Nasional Arus Balik Reformasi TNI di Tengah Krisis Demokrasi yang digelar di Gedung Nusantara II, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia (FISIP UI), Depok, Jawa Barat, Rabu (8/10/2025). (Foto: NU Online/Mufidah)
Jakarta, NU Online
Direktur Imparsial Ardi Manto menilai Indonesia tengah menghadapi fase baru dalam proses rekonsolidasi militerisme, yakni legislasi militerisme melalui instrumen hukum.
Hal itu ia sampaikan dalam Seminar Nasional Arus Balik Reformasi TNI di Tengah Krisis Demokrasi yang digelar di Gedung Nusantara II, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia (FISIP UI), Depok, Jawa Barat, Rabu (8/10/2025).
Ardi memaparkan sejumlah dampak serius dari menguatnya militerisme terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara.
Pertama, keterlibatan militer dalam berbagai urusan non-pertahanan dapat mengganggu profesionalisme TNI dalam bidang pertahanan.
Kedua, peningkatan intervensi militer di ranah sipil. Ardi menyebut sejumlah kegiatan masyarakat, rapat mahasiswa atau konsolidasi publik, mulai dihadiri oleh aparat militer.
Ketiga, kesiapsiagaan pertahanan nasional juga terancam akibat menurunnya intensitas latihan militer. Jika militer lebih banyak terlibat dalam kegiatan non-pertahanan seperti proyek sipil, maka negara lain dapat kehilangan rasa gentar terhadap kekuatan militer Indonesia.
Keempat, risiko hilangnya legitimasi dan kapabilitas pemerintahan sipil. Ardi menilai bahwa ketika masyarakat terbiasa menyerahkan berbagai urusan publik kepada militer, kepercayaan terhadap pemerintahan sipil akan semakin melemah.
Kelima, Ardi menjelaskan bahwa dalam jangka panjang, kondisi tersebut dikhawatirkan membuka jalan menuju terbentuknya pemerintahan yang bersifat otoriter.
“Ini proses bertahap. Tapi gejalanya sudah jelas terlihat. Pertanyaannya, kita sekarang sudah sampai di tahap yang mana?” jelasnya.
Menurut Ardi, negara saat ini berupaya melembagakannya secara formal melalui kebijakan dan revisi undang-undang.
“Setelah menormalisasi kehadiran militer secara de facto, negara kini berupaya melegislasikannya. Salah satunya melalui Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2025 atau revisi Undang-Undang TNI,” ujar Ardi.
Ia menjelaskan, proses revisi undang-undang tersebut menyisakan banyak persoalan mendasar, termasuk ketiadaan transparansi dokumen resmi. Meski gugatan masyarakat sipil telah diajukan ke Mahkamah Konstitusi (MK), hasilnya tetap tidak berpihak pada publik.
“Putusannya tipis, empat banding lima. Kalau satu hakim saja berpihak ke masyarakat sipil, hasilnya bisa berbeda. Padahal sampai gugatan ke MK diajukan, draf resmi UU TNI belum diunggah, bahkan naskah akademiknya belum tersedia secara resmi,” ungkapnya.
Legislasi militerisme melalui revisi UU Siber
Ardi menambahkan, upaya legalisasi militerisme juga tampak melalui draf Undang-Undang Keamanan dan Ketahanan Siber yang kini sudah diserahkan pemerintah kepada DPR. Dalam rancangan itu, TNI akan diberikan kewenangan penyidikan di bidang siber.
“Kalau undang-undang ini disahkan, TNI akan menjadi bagian dari criminal justice system di ranah siber. Mereka tak perlu lagi berkonsultasi ke kepolisian, karena sudah memiliki kewenangan langsung,” jelasnya.
Ia menilai, langkah ini menunjukkan tahapan baru rekonsolidasi militerisme yang mulai merambah ke sektor teknologi dan penegakan hukum.