Dampingi Anak Yatim Akibat Covid-19 Mulai dengan Jadi Pendengar yang Baik
Jumat, 24 September 2021 | 08:15 WIB
Kematian orang tua akibat Covid-19 bagi anak-anak yatim piatu bukan saja kehilangan sosoknya, melainkan kehilangan pengaruh, ketiadaan pembela, hingga kehilangan perekonomian keluarga.
Jakarta, NU Online
Kematian orang tua akibat Covid-19 bagi anak-anak yatim piatu bukan saja kehilangan sosoknya, melainkan kehilangan pengaruh, ketiadaan pembela, hingga kehilangan perekonomian keluarga. Dalam rangka mendampinginya, hal paling penting untuk mengawalinya adalah dengan membina hubungan yang baik. Hal itu tidak ditunjukkan dengan nasihat, melainkan menjadi pendengar yang baik bagi mereka.
“Yang paling penting sampai pada orang yang bersangkutan adalah orang siap menyimak mendengarkan ragam keluh kesah dia,” kata Asep Haerul Gani, psikolog, saat Pelatihan Pendamping Yatim dan Keluarganya, Program Pendampingan Yatim Akibat Pandemi Covid-19 pada Jumat (24/9/2021).
Kehadiran pendamping di awal pertemuan adalah membolehkan mereka untuk melepaskan apa yang selama ini mereka tahan-tahan. Biasanya, emosi memiliki porsi paling besar di dalam perasaannya sehingga perlu dikeluarkan.
Asep menegaskan bahwa masing-masing individu memiliki keunikan pada sikap kedukaannya sehingga tidak bisa dibandingkan satu sama lain. “Bisa jadi setiap anak menyikapi kematian dengan cara yang berbeda. Kita tidak bisa membanding-bandingkan,” ujarnya.
Membandingkan, menasihati, ataupun menceramahi orang yang tengah berduka bisa menjadi kontraproduktif. Sebab, lanjutnya, mereka tidak membutuhkan hal tersebut. Sekalipun dibumbui dalil-dalil tertentu.
“Yang mereka butuhkan sederhananya mendengarkan,” kata dosen psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta itu.
Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa sikap kedukaan mereka terkadang diekspresikan dengan melibatkan fisik, mental, sosial, ataupun spiritual. Karenanya, tak perlu aneh jika ada seseorang yang dalam keadaan berduka tetiba memaki-maki Tuhan.
“Di dalam kedukaan, ada orang terganggu spiritualnya. Paling tidak, itu ekspresi kedukaannya. Tuhan yang diekspresikan itu terbatas pada ekspresi kedukaan,” ujarnya.
Setelah dukanya sedikit demi sedikit pudar, mereka pun akan kembali normal dan pulih. Ketika hal itu terjadi, mereka tidak perlu dilawan, tetapi dibiarkan dan disilakan saja untuk mengekspresikan sikap dukanya untuk menguras segala emosi yang terpendam.
“Senjata kita sebagai pendamping adalah komunikasi,” tegasnya.
Agar pendamping dapat mudah diterima oleh mereka yang tengah berduka, ada setidaknya tiga pintu masuk, yakni pikiran, perasaan, dan fisik. Orang yang lapar, tentu pemberian makanan bisa menjadi pintu masuknya. Orang yang menangis terus-terusan, pembolehan yang dilakukan terhadap sikapnya tersebut menjadi pintu pembuka untuk diterima lebih jauh.
“Itu sudah banyak membantu walaupun begitu doang. Orang lagi duka jangan ditanya macam-macam,” katanya.
Selanjutnya, jika mereka hendak bercerita, maka disilakan. Respons apapun yang diberikan harus diterima pendamping tanpa perlu menghakiminya. Justru hal tersebut perlu dimanfaatkan untuk diarahkan ke tujuan pemulihan.
Pewarta: Syakir NF
Editor: Fathoni Ahmad