Di Hadapan Grand Syekh Al-Azhar, Prof Quraish Shihab Jelaskan Praktik Moderasi di Indonesia
Selasa, 9 Juli 2024 | 15:30 WIB
Grand Syekh Al-Azhar Syekh Muhammad Ahmad Al-Thayeb berdiskusi di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta bareng Rektor Asep Saifuddin Jahar dan Prof Quraish Shihab, Selasa (9/7/2024). (Foto: NU Online/Suwitno)
Jakarta, NU Online
Mufassir Indonesia Prof Muhammad Quraish Shihab menjelaskan konsep moderasi yang diterapkan oleh masyarakat di Indonesia di hadapan Grand Syekh Al-Azhar Ahmed Al-Thayeb pada Public Lecture Meneguhkan Moderasi Beragama untuk Membangun Toleransi dan Harmoni di Auditorium Prof Harun Nasution UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Selasa (9/4/2024).
"Saya akan mengulas secara ringkas nilai-nilai Islam dan nilai-nilai moderasi yang diamalkan atau dipraktikkan oleh bangsa Indonesia," kata Prof Quraish menggunakan bahasa Arab.
Pengarang Tafsir Al-Misbah itu mengatakan bahwa indikasi pertama yang paling nampak dari moderasi di Indonesia adalah bentuk negara.
"Negara kita bukan bersifat materialis dan bukan negara agama. Indonesia adalah negara Pancasila," jelas pendiri Pusat Studi Al-Qur'an (PSQ) ini.
Baginya, sila pertama dalam pancasila adalah berbentuk Tauhid, yaitu kepercayaan kepada Tuhan dan mengarahkan segala aktifitas atau kegiatan yang dilakukan oleh individu maupun negara.
Indonesia sendiri, kata Prof Quraish, terdiri dari ribuan pulau dan memiliki 715 bahasa daerah, tetapi memiliki satu bahasa nasional bersama yaitu bahasa Indonesia.
Prinsip tauhid dari sila pertama, lanjut Prof Quraish, dilengkapi dengan pelaksanaan syariat Islam bagi pemeluk agama Islam. Prof Quraish mengatakan bahwa klausul sempat menjadi kekhawatiran bagi non-Muslim di Indonesia.
"Namun, tokoh pendiri bangsa rela menghapus klausul ini demi persatuan bangsa Indonesia, dengan meneladani Perjanjian Hudaibiyah yang dihapus oleh Rasulullah saw," jelasnya.
Prof Quraish mengumpamakan persatuan dan moderasi itu seperti semboyan Bhinneka Tunggal Ika, yaitu berbeda-beda tetapi tetap satu tujuan
"Ketika kita menghadapi perbedaan pendapat, kita kembali pada prinsip persatuan itu. Prinsip persatuan kita adalah tauhid itu sendiri, yang menjadi titik tolak dan tujuan kita," jelasnya.
Prof Quraish menjelaskan bahwa Tauhid adalah apa yang disampaikan dalam shalat yaitu, inna shalati wa nusuki wa mahyaaya wa mamati lillahi rabbil 'alamin dalam artian Sesungguhnya sholatku, ibadahku, hidup, dan matiku hanya untuk Allah Tuhan Semesta Alam.
Moderat butuh ilmu
Lebib dari itu, moderasi atau kesatuan memerlukan ilmu. Maka yang paling terpenting, kata Prof Quraish adalah harus dapat membedakan antara agama, ilmu agama, dan cara beragama.
"Pertama, agama telah selesai dalam ayat al-yauma akmaltu lakum dīnakum wa atmamtu 'alaikum ni'matī wa raḍītu lakumul-islāma dīnā," jelasnya.
Kedua, ilmu agama. Bagi Prof Quraish Ilmu agama terus berkembang, bahkan perkembangan itu menjadikan kita berbeda pendapat dan berbeda pula dengan kitab-kitab yang telah menjadi rujukan atau pedoman.
"Bahkan terkadang berbeda dengan pandangan ulama yang kita rujuki atau dengan kitab-kitab kuning yang kita pegang nilai-nilainya," katanya.
Ketiga, soal cara orang beragama bervariasi, Prof Quraish menyebutkan dari ulama atau orang yang berilmu hingga santri atau pelajar bervariasi, maka cara orang beragama membutuhkan ilmu agama.
"Seperti contohnya pengakuan bahwa kiblat kami di timur adalah Al-Azhar Mesir, sebagai salah satu pusat ilmu," jelasnya.
"Oleh karena itu, selamat datang, Grand Syekh. Kami berharap Grand Syekh dapat menyampaikan ceramah yang dapat menjadi pedoman bagi kami," tandas Prof Quraish.