Dikukuhkan sebagai Guru Besar UI, Pengurus LKNU Jabarkan Filosofi Dan Praktik Gizi Kesehatan Masyarakat
Ahad, 17 November 2024 | 08:00 WIB
Pengurus LK PBNU Prof Ahmad Syafiq saat menyampaikan pidato pengukuhannya sebagai guru besar kesehatan masyarakat Universitas Indonesia di Balairung, Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat, pada Sabtu (16/11/2024). (Foto: tangkapan layar kanal Youtube Universitas Indonesia)
Jakarta, NU Online
Anggota Lembaga Kesehatan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (LK PBNU) Ahmad Syafiq resmi dikukuhkan sebagai Guru Besar Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Universitas Indonesia (UI) di Balairug UI pada Sabtu (16/11/2024).
Dalam pengukuhannya, Prof Syafiq menyampaikan bahwa filosofi gizi kesehatan masyarakat berdasar dari segi filsafat terdapat dua pengertian. Pertama, filsafat kesehatan masyarakat eksis sebagai wilayah wacana atau topik. Kedua, filsafat kesehatan masyarakat hadir dalam aktivitas kesehatan masyarakat baik kebijakan maupun praktik.
“Dua kata yang menyusun kata kesehatan masyarakat yaitu kesehatan atau health dan masyarakat atau public,” ujarnya.
Prof Syafiq menambahkan kata “kesehatan” memiliki makna kesehatan dari masyarakat atau dengan kata lain masyarakat yang sehat sebagai tujuan dari kesehatan masyarakat. Sementara “masyarakat” adalah masyarakatnya kesehatan sebagai cara untuk mencapai tujuan sehatnya masyarakat tadi.
“Dengan demikian, kesehatan masyarakat merupakan upaya seluruh masyarakat yang mengerti dan peduli mengenai kesehatan dalam rangka mencapai tujuan masyarakat yang sehat,” katanya.
Adapun praktik gizi kesehatan masyarakat merupakan kegiatan untuk mengembangkan, melaksanakan, dan mengevaluasi intervensi gizi yang efektif untuk memecahkan masalah gizi berbasis populasi.
“Peneliti Hughes dan Margetts menjabarkan 17 langkah dalam siklus ganda praktik gizi kesehatan masyarakat. Salah satu contoh penerapan analisis kapital dan analisis kapasitas Kabupaten di Indonesia dalam rangka pengurunan stanting, hasilnya tergolong rendah dengan nilai dua,” ujarnya.
Ia menambahkan kapital komunitas dalam contoh tersebut dinilai rendah karena nilai paling rendah ada di kapital kultural terkait kepercayaan dan norma sosial yang tidak mendukung program.
Akademisi asal Pondok Buntet Pesantren Cirebon itu menyampaikan kapital yang rendah ini mengindikasikan diperlukan upaya lebih intens dari segi advokasi dan edukasi dari pemerintah.
“Perlunya ada modifikasi program yang lebih dengan melibatkan masyarakat melalui pendekatan kultural, seperti tokoh agama dan masyarakat setempat,” ujarnya.
Selain itu, ia juga menyampaikan beberapa tantangan persoalan mengenai gizi sekarang. Ia menyebut, di antaranya penerapan filsafat keilmuan gizi kesehatan masyarakat dalam berbagai program pembangunan gizi, prinsip-prinsip kesetaraa dan keadilan gizi, keterhaminan pangan dan gizi sebagai hak asai manusia, serta hadirnya produk teknologi mutakhir seperti sensori robotik dan artificial intelligence (ai).
“Sudah seharusnya keilmuan gizi konvensional diperkaya dan diperluas baik secara konseptual maupun secara metodologis dengan ilmu perilaku, sosial humaniora, dan lainnya sehingga kebijakan dan program gizi dapat lebih preventif, efektif, efisien, dan berkelanjutan,” pungkasnya.