Nasional

DPR Tegaskan RUU BUMN Harus Larang Wamen Rangkap Jabatan Komisaris

Selasa, 23 September 2025 | 22:00 WIB

DPR Tegaskan RUU BUMN Harus Larang Wamen Rangkap Jabatan Komisaris

Anggota Komisi VI DPR RI Mufti Aimah Nurul Anam. (Foto: dok. Humas DPR)

Jakarta, NU Online

Anggota Komisi VI DPR RI Mufti Aimah Nurul Anam menegaskan perlunya aturan tegas dalam Revisi Undang-Undang Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang harus secara eksplisit melarang wakil menteri merangkap jabatan sebagai komisaris.


Hal tersebut ia sampaikan dalam rapat pembahasan RUU BUMN bersama pemerintah di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (23/9/2025).


“Wakil menteri BUMN di banyak tempat mengisi jabatan-jabatan komisaris yang sangat strategis,” ujar Mufti.


Ia mengingatkan, praktik rangkap jabatan menimbulkan kekecewaan publik karena terjadi di tengah sulitnya akses masyarakat terhadap lapangan pekerjaan.


Menurutnya, kursi komisaris justru dapat dimanfaatkan untuk memberi ruang bagi generasi muda dengan kemampuan dan gagasan baru.


“Harapan kami, kami minta dipastikan di undang-undang nanti wamen tidak boleh menjabat di komisaris BUMN agar komisaris-komisaris itu bisa diisi oleh talenta-talenta pemuda berbakat kita,” tegasnya.


Pejabat BUMN bisa diproses hukum

Mufti juga menyoroti maraknya dugaan praktik korupsi di perusahaan pelat merah. Ia meminta agar revisi UU BUMN memasukkan pasal yang memperjelas mekanisme penegakan hukum terhadap pejabat yang menyalahgunakan kewenangan.


“Di RUU ini kami minta dipastikan pasal itu dimasukkan kembali agar pejabat BUMN yang melakukan bancakan terhadap uang negara bisa diproses secara hukum, bisa dilakukan penegakan oleh BPK dan KPK ke depan,” ucapnya.


Ia menilai keresahan publik kian besar karena kasus-kasus korupsi di BUMN terjadi secara massif. Ia mencontohkan sejumlah perkara yang menyeret perusahaan besar milik negara.


“Yang menjadi keresahan di masyarakat yang pertama adalah soal, kita lihat hari ini banyak terjadi korupsi secara masif di BUMN, misalnya saja Pertamina, Timah, dan banyak lagi,” kata Mufti.


Ia menambahkan, perdebatan soal posisi BUMN dalam UU sebelumnya yang disahkan awal 2025 perlu diluruskan. Ketentuan bahwa pejabat BUMN bukan bagian dari penyelenggara negara dinilai melemahkan fungsi pengawasan lembaga audit dan penegak hukum.


“Di RUU kemarin sempat menjadi perdebatan di masyarakat soal bagaimana BUMN bukan menjadi bagian penyelenggara negara sehingga mereka tidak bisa dilakukan audit oleh BPK dan KPK,” jelasnya.


Mufti menekankan agar revisi UU BUMN kali ini benar-benar memastikan ruang penegakan hukum tetap terbuka.


“Oleh karena itu, kami berharap revisi UU BUMN ini dapat memastikan pejabat yang terdeteksi melakukan tindak pidana korupsi bisa diproses hukum oleh KPK,” ujarnya.


Sebelumnya, Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Prasetyo Hadi mengklaim bahwa penempatan pejabat negara di kursi komisaris BUMN merupakan bagian dari penugasan resmi pemerintah.


"Saudara-saudara kita yang menjabat di komisaris itu bagian dari penugasan-penugasan sesuai dengan tugas dan fungsinya. Contoh misalnya, Wamenkomdigi diberi tugas menjadi Komisaris Utama di Telkom," kata Prasetyo di Istana Kepresidenan, Jakarta, Rabu (17/9/2025).


Ia menambahkan, penugasan tersebut disesuaikan dengan kebutuhan dan fungsi masing-masing lembaga. Namun, pemerintah tetap membuka ruang evaluasi.


“Nanti akan kita lihat dan evaluasi, pertama dari sisi peraturan perundang-undangan, kedua dari sisi fungsinya,” ujarnya.


Putusan MK

Mahkamah Konstitusi (MK) telah mengeluarkan Putusan Nomor 128/PUU-XXIII/2025 yang melarang wakil menteri merangkap jabatan.


Namun, MK memberikan tenggang waktu dua tahun bagi pemerintah untuk menindaklanjuti aturan tersebut.


Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih menjelaskan bahwa masa penyesuaian ini diperlukan untuk menghindari kekosongan hukum maupun ketidakpastian dalam implementasi putusan.


"Mahkamah memandang perlu memberikan tenggang waktu bagi pemerintah untuk melakukan penyesuaian terhadap ketentuan larangan rangkap jabatan wakil menteri tersebut. Oleh karena itu, Mahkamah mempertimbangkan diperlukan masa penyesuaian dimaksud paling lama dua tahun sejak putusan a quo diucapkan," ujarnya.


Menurut Mahkamah, waktu dua tahun cukup bagi pemerintah untuk menata ulang struktur jabatan di BUMN.


Hal ini agar posisi komisaris yang saat ini dirangkap oleh pejabat negara bisa digantikan oleh orang-orang dengan keahlian dan profesionalitas sesuai regulasi.


"Dengan demikian, tersedia waktu yang cukup dan memadai bagi pemerintah untuk melakukan penggantian jabatan yang dirangkap tersebut oleh orang yang memiliki keahlian dan profesionalitas dalam mengelola perusahaan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan," ucap Enny.