Ketua Umum PDNU dr Muhammad S Niam mengatakan vaksin dengan efikasi atau kemanjuran 65,3 persen dalam uji klinik berarti terjadi penurunan 65,3 persen kasus penyakit pada kelompok yang divaksinasi dibandingkan dengan kelompok yang tidak divaksinasi (plasebo). (Foto: Istimewa)
Jakarta, NU Online
Badan Pengawas Obat-obatan dan Makanan (BPOM) RI telah mengumumkan keamanan vaksin Sinovac pada Senin (11/1). Dalam paparannya, Ketua BPOM RI Penny K Lukito menyatakan vaksin Sinovac aman digunakan masyarakat dengan tingkat khasiat (eficasy) mencapai 65,3 persen.
Persentase itu lebih tinggi dibandingkan dengan standar World Organization Health (WHO) yakni 50 persen. Namun, beragam tanggapan di masyarakat muncul setelah melihat tingkat khasiat vaksin Sinovac di negara lain lebih tinggi.
Pengurus Pusat Persatuan Dokter Nahdlatul Ulama (PDNU) ikut memberikan tanggapan perihal vaksin Sinovac yang hanya memiliki efikasi 65,3 persen. Menurut Ketua Umum PDNU dr Muhammad S Niam, vaksin dengan efikasi 65,3 persen dalam uji klinik berarti terjadi penurunan 65,3 persen kasus penyakit pada kelompok yang divaksinasi dibandingkan dengan kelompok yang tidak divaksinasi (plasebo).
Niam menambahkan, hal itu didapatkan dalam suatu uji klinik yang kondisinya terkontrol sehingga misalnya pada uji klinik Sinovac di Bandung melibatkan 1600 orang, terdapat 800 subyek yang menerima vaksin, dan 800 subyek yang mendapatkan plasebo atau vaksin kosong.
Artinya, jika dari kelompok yang divaksin ada 26 yang terinfeksi (3.25%), sedangkan dari kelompok plasebo ada 75 orang yang kena Covid (9.4%), maka efikasi dari vaksin adalah = (0.094 – 0.0325)/0.094 x 100% = 65.3%. Akhirnya, yang menentukan adalah perbandingan antara kelompok yang divaksin dengan kelompok yang tidak.
"Efikasi ini dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor, misal dari tingkat risiko infeksi tempat uji, karakteristik subyek ujinya, pola kesehatan masyarakat, dan lain-lain. Jika subyek ujinya adalah kelompok risiko tinggi, maka kemungkinan kelompok plasebo akan lebih banyak yang terpapar," kata dr S Niam kepada NU Online, Selasa (12/1).
Menurut dr Niam, dari rumus yang telah ditentukan maka perhitungan efikasinya menjadi meningkat. Misalnya, pada kelompok vaksin ada 26 yang terinfeksi, sedangkan kelompok plasebo bertambah menjadi 120 yang terinfeksi. Otomatis efikasinya menjadi 78.3 persen.
Sementara uji klinik di Brazil, menggunakan kelompok berisiko tinggi yaitu tenaga kesehatan, sehingga efikasinya diperoleh lebih tinggi pula. Sedangkan Di Indonesia, kata dia, menggunakan populasi masyarakat umum yang risikonya lebih kecil.
Karena itu, jika subjek plasebonya berisiko rendah, apalagi taat dengan prokes dan tidak banyak yang terinfeksi, maka perbandingannya dengan kelompok vaksin menjadi lebih rendah dan menghasilkan angka yang lebih rendah pula.
"Tetapi mungkin juga ada faktor-faktor lainnya yang berpengaruh terhadap hasil uji kliniknya," bebernya.
Pada prinsipnya menurut dr Niam, penurunan kejadian infeksi sebesar 60 persen secara populasi akan sangat bermakna dan memiliki dampak ikutan yang panjang. Sebut saja dari 100 juta penduduk Indonesia, jika tanpa vaksinasi ada 8 juta yang bisa terinfeksi. Maka jika program vaksinasi berhasil hanya ada 3 juta penduduk yang terinfeksi. Dapat dihitung (0.08 – 0.03)/0.08 x 100% = 62.5%.
"Jadi ada 5 juta kejadian infeksi yang dapat dicegah. Mencegah 5 juta kejadian infeksi tentu sudah sangat bermakna dalam penyediaan fasilitas perawatan kesehatan. Belum lagi secara tidak langsung bisa mencegah penularan lebih jauh bagi orang-orang yang tidak mendapatkan vaksin, yaitu jika dapat mencapai kekebalan komunal atau herd immunity," tuturnya.
Sebelumnya, BPOM menyebut secara keseluruhan vaksin Covid-19 aman digunakan dengan kejadian efek samping yang ditimbulkan ringan hingga sedang. Kepala BPOM RI, Penny K Lukito mwngatakan, efek samping yang ditimbulkan berupa efek samping lokal yakni nyeri, iritasi dan pembengkakan.
Sementara efek samping sistemik yaitu nyeri otot, ratik, dan demam. Lalu, pada frekuensi efek samping dengan derajat berat penerima vaksin akan merasakan sakit kepala, gangguan kulit dan diare. Namun, efek samping ini dilaporkan hanya 0,1 persen atau 1 persen saja.
"Efek samping tersebut merupakan efek samping yang tidak berbahaya dan dapat pulih kembali," tegas perempuan yang lahir di Jakarta 9 November 1963 ini.
Penny mengungkapkan, vaksin Covid-19 jenis Sinovac menunjukan perannya dalam membentuk antibodi dalam tubuh. Kemampuan antibodi tersebut bisa menetralkan virus yang hinggap
Pewarta: Abdul Rahman Ahdori
Editor: Kendi Setiawan