Epidemiolog Tegaskan PPKM Mikro Belum Efektif Turunkan Kasus Aktif Covid-19
Senin, 22 Februari 2021 | 10:15 WIB
Jakarta, NU Online
Pakar Epidemiologi Universitas Indonesia dr Tri Yunis Miko menegaskan, Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Skala Mikro masih belum berpengaruh signifikan pada penurunan kasus aktif Covid-19 di Indonesia.
“Keberhasilan penanganan pandemi di suatu negara tidak hanya diukur pada penurunan kasus aktif harian tetapi juga dilihat pada skala angka penularan atau positivity rate,” ungkap Tri, dikutip NU Online dari Kompas, Senin (22/2).
Lebih lanjut ia menuturkan, angka penularan di Indonesia pada pertengahan Februari mencapai 38,34 persen. Angka tersebut masih jauh dari standar Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yakni di bawah lima persen.
Karena itu, ia meminta pemerintah untuk tidak lengah agar terus meningkatkan upaya testing (tes Covid-19), tracing (penelusuran kontak erat), serta sebisa mungkin mempercepat program vaksinasi di dalam negeri.
Menurutnya, keberhasilan Indonesia dalam menghadapi Covid-19 bisa dilihat dari dua hal yakni angka kasus dan penularannya menurun. “Angka penularan di Indonesia bahkan pernah mencapai angka 25 persen. Maka jika testing-nya diperkecil, positivity rate akan meningkat,” ungkapnya.
“Jadi kalau mau dikatakan berhasil, keduanya harus turun. Angka kasus dan positivity rate,” ucap Tri.
Sebelumnya, Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Bidang Kesehatan dr Syahrizal Syarif juga telah menyatakan hal serupa. Ia menilai, PPKM yang dilakukan pemerintah tidak efektif untuk mencegah penularan dan menurunkan angka kasus aktif Covid-19 di Indonesia.
Ditegaskan Syahrizal, pemerintah jangan asal membuat kebijakan tanpa pengawasan dan penindakan. Sebab yang terpenting menurutnya adalah berbagai langkah yang diambil harus dengan tegas dilakukan pemerintah mengingat pandemi Covid-19 masih terus melonjak.
“Pemerintah jangan asal bikin kebijakan. Karena yang penting itu adalah ketegasan. Langkah-langkah itu harus tegas. Semua yang disebut-sebut PPKM itu harus dipastikan bagaimana itu dijalankan dengan tegas. Razia masker boleh saja, tapi yang jauh lebih penting adalah razia kerumunan,” ungkap Syahrizal kepada NU Online, pada Selasa, 2 Februari 2021 lalu.
Pakar Epidemiologi dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM) UI ini juga sebenarnya telah mengamini pernyataan Presiden Joko Widodo saat mengumumkan hasil evaluasi kebijakan PPKM Jawa-Bali pada 11-25 Januari 2021, pada 29 Januari 2021 lalu.
Syahrizal kemudian menyatakan bahwa kunci pengendalian wabah Covid-19 bukanlah dengan PPKM yang tanpa implementasi. Melainkan harus ada upaya membatasi pergerakan masyarakat dengan tegas. Sebab yang paling berpengaruh menulari virus itu ada di setiap kerumunan.
“Petugas pemerintah harusnya tidak membolehkan orang untuk berkerumun lebih dari tiga orang di mana pun seperti di pinggir jalan dan restoran. (Pemerintah) tidak usah macam-macam lah. Pokoknya kerumunan tidak lebih dari tiga orang saja. Itu luar biasa dampaknya,” terang Syahrizal.
PPKM Mikro hingga tingkat Desa/Kelurahan
Dikutip dari laman resmi Sekretariat Presiden, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Muhammad Tito Karnavian mengeluarkan Instruksi Mendagri (Inmendagri) Nomor 4 Tahun 2021 tentang Perpanjangan PPKM dan Mengoptimalkan Posko Penanganan Covid-19 di Tingkat Desa dan Kelurahan. Instruksi ini dikeluarkan pada 19 Februari 2021.
Tito, melalui Inmendagri, menginstruksikan kepada seluruh gubernur se-Jawa dan Bali beserta bupati/wali kota untuk mengatur PPKM Mikro di wilayah masing-masing. “PPKM Mikro sampai dengan tingkat RT/RW yang berpotensi menimbulkan penularan Covid-19,” demikian bunyi Inmendagri itu.
Instruksi itu juga ditujukan kepada para bupati/wali kota dengan prioritas wilayah. Di Jawa Barat adalah Kabupaten Bogor, Kabupaten Bekasi, Kota Cimahi, Kota Bogor, Kota Depok, Kota Bekasi, dan wilayah Bandung Raya.
Sementara di Banten yaitu wilayah Kabupaten Tangerang, Kota Tangerang, dan Kota Tangerang Selatan. Lalu di Jawa Tengah meliputi Semarang Raya, Banyumas Raya, Kota Surakarta, dan sekitarnya.
Kemudian di Daerah Istimewa (DI) Yogyakarta melingkupi Kota Yogyakarta, Kabupaten Bantul, Kabupaten Gunung Kidul, Kabupaten Sleman, dan Kabupaten Kulon Progo.
Sedangkan di Jawa Timur, wilayah menjadi prioritas adalah Surabaya Raya, Madiun Raya, dan Malang Raya. Terakhir, Bali dengan prioritas wilayah Kabupaten Badung, Kabupaten Gianyar, Kabupaten Klungkung, Kabupaten Tabanan, dan Kota Denpasar.
Tito mengatakan, para gubernur dapat menambahkan prioritas wilayah pembatasan sesuai dengan kondisi masing-masing wilayah dan memperhatikan cakupan pemberlakuan pembatasan.
Pewarta: Aru Lego Triono
Editor: Fathoni Ahmad