Nasional

F-Buminu Sarbumusi Desak DPR Bentuk Lembaga Independen Awasi Perlindungan Pekerja Migran Dalam RUU P2MI 

Rabu, 24 September 2025 | 11:30 WIB

F-Buminu Sarbumusi Desak DPR Bentuk Lembaga Independen Awasi Perlindungan Pekerja Migran Dalam RUU P2MI 

F-Buminu Sarbumusi saat menyerahkan draf usulan ke Baleg DPR (Dok. Istimewa)

Jakarta, NU Online 

Ketua Umum Federasi Buruh Migran Nusantara (F-Buminu) Sarbumusi Ali Nurdin menekankan perlunya pembentukan lembaga khusus yang berfungsi sebagai pengawas independen dalam tata kelola penempatan dan perlindungan pekerja migran Indonesia (PMI).


Ia menilai sistem yang ada saat ini masih bermasalah karena satu kementerian merangkap peran sebagai regulator sekaligus operator.


“Prinsip dasar tata kelola yang sehat sudah dilanggar. Tidak mungkin wasit bermain dalam pertandingan yang ia atur sendiri. Karena itu harus ada lembaga independen yang khusus mengawasi jalannya perlindungan dan penempatan PMI,” ujarnya kepada NU Online Rabu (24/9/2025).


Ali menegaskan lembaga tersebut harus bekerja lintas kementerian dan sektor, serta memiliki kewenangan operasional yang jelas.


"Operator sistem ini bukan sekadar pelaksana teknis. Ia harus menjadi simpul dari seluruh kepentingan negara untuk menjamin kesejahteraan dan keselamatan pekerja migran," tegasnya.


Dalam draf usulan revisi UU Nomor 18 Tahun 2017 yang diserahkan F-Buminu kepada DPR, Ali juga mengkritik sejumlah pasal yang dinilainya berpotensi merugikan PMI. Menurutnya, Pasal 31 tentang perjanjian bilateral harus dipertegas agar penempatan PMI hanya bisa dilakukan di negara yang memiliki perjanjian tertulis dengan Indonesia. 


"Dilarang menempatkan pekerja migran ke negara yang tidak ada perjanjian tertulis. Itu harus jelas dan tegas," katanya.


Ia juga menyoroti Pasal 17 tentang Surat Izin Perekrutan Pekerja Migran Indonesia (SIP2MI). Menurut Ali, istilah ini rawan disalahgunakan oleh perusahaan penempatan. 


"SIP2MI dijadikan alasan untuk merekrut sebanyak-banyaknya, bahkan menahan calon PMI dengan ancaman ganti rugi jika mundur. Padahal, tugas P3MI hanya mendata dan menyeleksi, bukan merekrut. Karena itu harus diganti menjadi Surat Izin Pendataan," jelasnya.


Lebih lanjut, Ali meminta agar Pasal 30 yang mengatur biaya penempatan dipertegas. Ia mengusulkan tambahan frasa “baik secara langsung maupun tidak langsung, seluruh atau sebagian” agar tidak ada lagi celah biaya tersembunyi yang akhirnya membebani pekerja migran. 


"Praktik potongan gaji dan pungutan lain masih sering terjadi. Dengan klausul itu, tidak boleh ada lagi alasan bagi perusahaan untuk membebankan biaya kepada PMI," ujarnya.


Ali juga menyinggung perlunya aturan khusus terkait perjanjian kerja laut. Menurutnya, banyak awak kapal migran yang dirugikan karena kontrak kerja tidak jelas. 


"Tanpa aturan yang spesifik, awak kapal mudah tereksploitasi. Ini harus dimasukkan dalam revisi," katanya.


Sebelumnya, dalam rapat pleno Badan Legislasi (Baleg) DPR RI, Dewan Pakar F-Buminu Yusri Addin Yusuf Albima, menyampaikan catatan serupa. Ia menekankan bahwa tanpa perjanjian bilateral, pekerja migran berpotensi besar terjebak persoalan hukum di luar negeri. Yusri juga mengkritik SIP2MI yang kerap menjadi dasar praktik rekrutmen bermasalah oleh perusahaan penempatan.


Seluruh catatan kritis dari Bab 1 hingga Bab 13 RUU P2MI kini telah diserahkan F-Buminu kepada DPR. Ali berharap masukan tersebut benar-benar diperhatikan. 


“Kalau revisi ini tidak menyentuh akar masalah, pekerja migran kita akan terus jadi korban. Kita ingin DPR dan pemerintah memastikan perlindungan ini betul-betul nyata, bukan sekadar janji di atas kertas,” pungkasnya.