Fatharani Wafda, Santri Kilat Lulusan IT Universitas Kumamoto Jepang
Sabtu, 22 Oktober 2022 | 10:15 WIB
Jakarta, NU Online
Fatharani Wafda bisa disebut termasuk satu di antara sedikit pelajar Indonesia yang beruntung. Pasalnya, ia berkesempatan untuk kuliah double degree (dua gelar akademik) di Indonesia dan Jepang sekaligus. Tak hanya itu, dalam usia 24 tahun ia berhasil lulus S2 di Universitas Kumamoto, Jepang.
Tesis magisternya berjudul Cluster Evolution Analysis of Students’ Course‑Taking Behavior (A Case Study of Indonesian University) mendapat nilai AA (sempurna) di Universitas Kumamoto.
Perempuan kelahiran Surabaya, 12 April 1998 itu diterima sebagai mahasiswa S2 di jurusan Computer Science and Electrical Engineering, Graduate School of Science and Technology, Kumamoto University selepas sidang S1 di Jurusan Sistem Informasi Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya pada 2020 lalu.
Thara, sapaan akrabnya, mengatakan bahwa Universitas Kumamoto termasuk kampus top negeri di Kota Kumamoto, Jepang. Berdasarkan QS World University Ranking 2023, ranking dunia untuk kampus tersebut adalah 651-700.
“Saya diterima sebagai mahasiswi double degree program di bawah bimbingan Profesor Usagawa. Bersamaan dengan itu, saya juga diterima di Sistem Informasi, Fakultas Tekonologi Elektro dan Informatika Cerdas Program Pascasarjana ITS. Di ITS, saya di bawah bimbingan Dr Mahendrawathi,” ujarnya kepada NU Online, beberapa waktu lalu.
Saat kuliah S1, ayah Thara mendapat informasi program double degree. Dari situ, ia mulai diskusi dengan sang ayah tentang rencana kuliah. Diskusi seputar rencana studi, dosen pembimbing, serta opsi riset yang akan dijalani.
“Waktu milih jurusan, saya banyak diskusi dengan Walid (Ayah saya). Beliau keahliannya di bidang informatika. Saya termotivasi untuk memperdalam pengetahuan di bidang IT karena banyaknya inovasi di bidang IT yang membantu kebutuhan masyarakat,” ungkapnya.
Saat Thara masih SMA, sudah mulai banyak start-up bermunculan. Antara lain Gojek. Ia kagum dengan konsep implementasi IT di Indonesia sebagai dukungan solusi masalah di tengah masyarakat.
Dunia bergerak ke data
Saat ditanya mengapa ia memilih ilmu komputer yang dianggap rumit anak muda, ia mengatakan bahwa masa depan dunia akan bergerak ke bidang data. Oleh karena itu, ia mengambil studi di bidang ilmu komputer. Risetnya data mining, yakni suatu proses pengumpulan informasi dan big data (data penting dalam jumlah besar).
“Alasan saya pilih keilmuan computer science itu karena dapat advice dari Dosen Pembimbing di ITS, oleh Walid, juga sharing dengan teman-teman S1 bahwa masa depan dunia ini akan bergerak ke bidang data,” ungkapnya.
“Jadi, semua keilmuan nantinya pasti mempelajari data science. Sebenarnya, interest saya ke bidang proses bisnis. Namun, karena masa depan akan bergerak ke bidang data, saya disarankan Dr Mahendrawathi, dosen pembimbing di ITS, untuk mempelajari topik process mining,” sambung Thara.
Menurut dia, topik yang ia pilih sebenarnya tidak serumit hafalan rumus-rumus seperti anak-anak MIPA (Matematika, Kimia, Fisika). Akan tetapi, lebih ke pengasahan logika untuk menyusun baris kode. “Computer science itu basic-nya coding. Jadi, saya belajar bahasa pemrograman seperti Python dan Java,” ujarnya.
Gadis yang memiliki hobi bermain piano ini menambahkan bahwa kebetulan Universitas Kumamoto memiliki ahli di bidang e-Learning, yakni Prof Usagawa. Oleh sebab itu, ia bisa memperdalam ilmu process mining di bidang pendidikan. Wal hasil, riset Thara tentang proses pengambilan mata kuliah.
“Riset saya di S2 dibantu teman selaboratorium, namanya Satrio Adi. Dia mahasiswa S3 di kampus yang sama di bawah bimbingan Prof. Usagawa. Saya dibantu mengenalkan keilmuan process mining di bidang pendidikan dan penggunaan perangkat lunak pendukung data science (R dan WEKA),” ungkapnya.
Tentang process mining
Saat ditanya tentang hasil riset terkait proses pengambilan mata kuliah dengan pendekatan process mining di bidang pendidikan, Thara terlebih dahulu menjelaskan process mining secara sederhana.
Ia mengatakan, process mining adalah teknik menganalisis proses menggunakan event log. Misalnya, proses pengajuan surat cuti menggunakan sistem. Supaya kita tahu proses apa saja yang terjadi di dalamnya, kita bisa menganalisisnya dari catatan event log yang direkam oleh komputer.
“Biasanya bentuk event log-nya seperti: ‘09.20 data disubmit ke Departemen SDM. 09.25 data di-download.’ Dan seterusnya,” papar Thara.
Thara mengatakan, studi ini bertujuan untuk menganalisis perilaku mahasiswa dalam mengambil mata kuliah terhadap performa. Data pengambilan mata kuliah mahasiswa ITS dianalisis menggunakan metode Cluster Evolution Analysis. Perilaku dianalisis berdasarkan nilai IPS (Indeks Prestasi Semester) dan kesesuaian pilihan mata kuliah terhadap desain kurikulum.
“Kesesuaian pilihan diformulasikan sebagai Conformance Value (Nilai Kesesuaian). Nilai tersebut diformulasikan berdasarkan jumlah SKS yang diambil, jumlah SKS pada desain kurikulum, serta jumlah SKS maksimum dari setiap semester yang telah didesain pada peraturan akademik,” paparnya.
Hasil dari studi ini, kata dia, adalah perilaku mahasiswa selama proses studi S1 dalam mengambil mata kuliah. Terdapat tiga jenis perilaku yang ditemukan. Pertama, mahasiswa dengan nilai IPS yang baik (IPS > 3.00) pada semester sebelumnya, cenderung mengambil mata kuliah yang didesain untuk semester di atasnya pada semester berikutnya.
“Contoh, mahasiswa Semester 3 dengan IPS yang baik akan cenderung mengambil mata kuliah semester 5 atau 7 pada semester berikutnya,” tutur Thara.
Kedua, mahasiswa dengan nilai IPS < 3.00, pada semester berikutnya akan mengambil mata kuliah yang sesuai dengan desain kurikulum dan menghasilkan nilai yang baik. Ketiga, mahasiswa cenderung mengambil mata kuliah lebih banyak pada Semester 4.
Studi ini, lanjut Thara, menghasilkan saran strategi pengambilan mata kuliah bagi mahasiswa agar dapat mempertahankan nilai IPS di atas 3.00. Salah satu contoh strategi yang disarankan adalah jika mahasiswa mengalami penurunan nilai IPS, berdasarkan hasil riset, mahasiswa dapat disarankan mengambil jumlah SKS sesuai desain kurikulum untuk dapat meraih IPS yang lebih baik pada semester berikutnya.
Menurut dia, riset tersebut setidaknya bermanfaat baik jangka pendek, menengah, maupun panjang bagi kehidupan. Untuk jangka pendek, bisa mengusulkan strategi pengambilan mata kuliah bagi mahasiswa agar mereka dapat me-maintain nilai IPK Semester di atas 3.50.
“Jangka menengahnya, riset ini bisa membantu mahasiswa lulus dengan nilai Cumlaude dengan mengikuti desain studi yang saya sarankan. Adapun jangka panjangnya bisa mencerdaskan kehidupan bangsa melalui pembelajaran yang lebih efektif dan efisien,” ungkapnya.
Pengalaman sejati
Selama menimba ilmu di Jepang, Thara memiliki sejumlah kisah dan pengalaman menarik. Antara lain adanya budaya ‘kanpai’ di negeri Sakura itu. Secara harfiah, kanpai artinya ‘cangkir kering’. Secara istilah, kanpai dilakukan ketika makan bersama. Sebelum makan, biasanya bersulang minuman terlebih dahulu. Untuk yang dewasa, minuman beralkohol.
“Kalau di Indonesia kan acara-acara ditutup dengan doa. Nah, di Jepang ditutup dengan kanpai (bersulang). Saya pernah ada di acara wellcome party, diakhiri kanpai. Di farewell party juga sama. Di tengah acara, suka ada panitia yang tanya, ‘Mau minum apa?’. Saya suka order ocha (teh Jepang),” ungkapnya.
“Karena ‘belum terbiasa’, saya suka minum duluan saat minuman dibagikan di tengah acara. Padahal harusnya jangan diminum sampai kanpai. Jadi, saya minumnya sudah tinggal separo baru kanpai,” sambung Thara seraya tertawa.
Ia mengatakan bahwa di Jepang dirinya jarang menjumpai tapioka. Bagi dia, ini merupakan culture shock (gegar budaya), perasaan di mana seseorang merasa terkejut ketika berhadapan dengan lingkungan dan budaya baru.
“Jadi, saya kalau di Indonesia kan suka masak pakai tepung tapioka. Nah, di sana itu nggak ada. Adanya katakuriko. Tapi, bahan dasarnya kentang. Jadi, beda cara masaknya,” kata Thara.
Ia juga bercerita bahwa di Jepang sulit mencari makanan halal. Ia kesulitan saat mau menjelaskan ke warga di sana terkait menu halal. Rerata mereka hanya tahu bahwa ada agama yang melarang pork (daging babi). Pada saat yang sama, mereka kerap kaget ketika tahu dirinya makan ayam di Indonesia.
“Saat di Jepang, saya tidak makan daging ayam tanpa label halal. Ketika saya jelaskan ke teman-teman Jepang bahwa saya akan makan daging jika yang motong ayam itu Muslim, respons mereka, ‘Oh kalau begitu, makan saja pork yang halal’. Sering kali saya jelaskan lebih detail. Namun, kadang kala saya suka melabeli diri saya sebagai vegetarian jika ada acara makan bersama,” tuturnya.
Belajar kitab kuning
Kehati-hatian Thara soal makanan halal rupanya telah terasah ketika sejak remaja mengaji kitab kuning baik fiqih maupun cabang ilmu lainnya. Ia memang tidak pernah secara spesifik mondok di sebuah pesantren. Ia hanya mengikuti sanlat (pesantren kilat). Meski demikian, Thara sejak remaja telah mengakrabi sejumlah kitab khas pesantren bersama sang ayah.
“Kalau di rumah, sama Walid (panggilan Thara untuk ayahnya) selalu diajarin kitab kuning. Beberapa yang sudah khatam seperti Safinatun Najah, Minhajul Abidin, Aqidatul Awam, Tafsir Jalalain, dan Nashaihul Ibad. Kalau sekarang ini lagi ngaji Nashaihud Diniyyah,” ungkapnya.
Ia menambahkan, saat masih sekolah, tiap akhir pekan dirinya kerap diajak sang ayah berkunjung ke sejumlah pesantren. Sejak 2007, ayahnya suka sharing seputar peningkatan pembelajaran di pesantren/madrasah.
“Sejak tahun-tahun itu, sampai mungkin sebelum pandemi, ayah kerap ada agenda ke sejumlah perguruan tinggi di pesantren untuk sharing. Biasanya kalau jadwal kami (saya dan adik-adik) kosong, suka diajak. Lalu, kalau ayah lagi kosong juga sering sharing ilmu agama di rumah,” tuturnya.
Thara menghabiskan masa kecilnya di Madrasah Ibtidaiyah di kampungnya. Lalu lanjut ke SMPN, SMAN, hingga kuliah S1 di ITS. Jika ada waktu senggang, ia meluangkan tadarus Al-Qur’an dan menyalurkan hobinya bermain piano.
Santri penerus bangsa
Terkait perkembangan teknologi informasi, Thara memiliki pesan dan harapan untuk para pemuda, khususnya santri, di Indonesia. Ia mengatakan bahwa kita hidup di negara yang hubungan sosialnya sangat ramah, sumber daya alam-nya melimpah, dan nyaman untuk beribadah.
“Mari kita syukuri nikmat negara yang Allah berikan ke kita dengan senantiasa menjaga nama baik Indonesia. Salah satunya menjadi pribadi penerus bangsa yang berilmu,” ajak gadis penyuka olah raga Taekwondo ini.
Jika kita berilmu, maka kita tidak akan kalah dengan perkembangan zaman di mana teknologi informasi berkembang pesat. Perkembangan TI memang erat kaitannya dengan konsep mesin menggantikan peran manusia. Namun, teknologi tak akan berkembang tanpa inovasi dari manusia.
Menurut dia, keterampilan untuk menemukan masalah sekitar dan mencetuskan solusi efektif adalah keterampilan dasar untuk berinovasi. Pencetusan solusi bisa dimulai dari memodifikasi solusi yang ada.
“Nah, keterampilan semacam ini tidak akan tergantikan oleh mesin. Jadi, sepesat apa pun perkembangan teknologi informasi, kita harus tetap mau update ilmu karena manusia tetap menjadi pemeran utama,” tandasnya.
Dengan menjadi pribadi berilmu, para santri juga akan lebih terpandang di masyarakat. “Kita juga bisa jadi duta-duta para ulama dengan menyebarkan Islam ramah ke seluruh penjuru dunia,” pungkas Thara.
Pewarta: Musthofa Asrori
Editor: Fathoni Ahmad