Fenomena Astronomi 2024: Gerhana Matahari Total hingga Gelombang Panas Menerpa Bumi
Kamis, 26 Desember 2024 | 10:00 WIB
Jakarta, NU Online
Ada empat kali gerhana terjadi di tahun 2024, yakni dua kali gerhana bulan dan dua kali gerhana matahari. Peristiwa tersebut, dikutip dari situs Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), secara rinci terjadi pada tanggal-tanggal berikut.
- Gerhana Bulan Penumbra (GBP) 25 Maret 2024
- Gerhana Matahari Total (GMT) 8 April 2024
- Gerhana Bulan Sebagian (GBS) 18 September 2024
- Gerhana Matahari Cincin (GMC) 2 Oktober 2024
Namun, dari keempatnya, hanya gerhana pertama yang dapat teramati di Indonesia, yakni Gerhana Bulan Penumbra. Hal ini pun hanya teramati secara penuh di wilayah Indonesia bagian timur, meliputi sebagian Maluku dan seluruh Papua. Meskipun ini disebut gerhana, tetapi umat Islam tidak disunnahkan untuk shalat khusuful qamar (gerhana).
"Gerhana Bulan Penumbra tidak menjadi dasar penyelenggaraan shalat Gerhana Bulan. Secara fikih, Shalat Gerhana Bulan hanya digelar apabila gerhana tersebut merupakan gerhana yang kasat mata sehingga terlihat dengan jelas menggelapnya bagian Bulan," demikian sebagaimana dijelaskan Lembaga Falakiyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (LF PBNU).
Selain gerhana, fenomena astronomi lain yang terjadi pada tahun 2024 adalah gelombang panas yang terasa pada bulan Mei 2024. Fenomena cuaca termasuk sebagai kategori gelombang panas saat suatu lokasi harus mencatat suhu maksimum harian melebihi ambang batas statistik, misalnya 5 derajat celcius lebih panas, dari rata-rata klimatologis suhu maksimum.
Apabila suhu maksimum tersebut terjadi dalam rentang rata-ratanya dan tidak berlangsung lama maka tidak dikategorikan sebagai gelombang panas.
Pengurus LF PBNU Ma'rufin Sudibyo menjelaskan bahwa gelombang panas adalah saat satu kawasan yang terletak di lintang menengah-tinggi dan bersifat kontinental (dikelilingi daratan luas) mengalami inversi atmosferik pada lapisan-lapisan udara di atasnya.
"Normalnya, udara yang paling dekat dengan paras bumi adalah yang paling hangat. Berangsur-angsur suhu udara mendingin seiring naiknya ketinggian mengikuti gradien suhu atmosfer. Demikian pula tekanan udara, berangsur-angsur berkurang seiring naiknya ketinggian. Pola ini memungkinkan udara bergerak atau bersirkulasi," kata Sudibyo kepada NU Online, Jumat (3/5/2024).
Dalam konteks regional, Sudibyo menjelaskan dalam ukuran normal udara akan membumbung ke atas dari kawasan tropis/khatulistiwa. Selanjutnya bergerak mendatar ke arah kedua kutub Bumi, baik ke utara maupun ke selatan.
Dan di kawasan subtropis (khususnya di sekitar garis lintang 25° LU/LS), aliran udara ini kembali menurun menuju poros Bumi untuk kemudian bergerak mendatar kembali ke arah khatulistiwa sebagai angin pasat.
"Sirkulasi ini disebut sirkulasi hadley (Sel sirkulasi yang membentang dari garis khatulistiwa hingga 30° utara dan selatan), yang sangat penting artinya bagi pembentukan awan dan hujan," jelas Sudibyo.
Dalam kondisi abnormal, Sudibyo menjelaskan di daerah subtropik (lintang menengah hingga tinggi) yang kontinental (dikelilingi daratan luas) dapat terbentuk inversi atmosferik akibat gangguan sirkulasi hadley. Pada lapisan udara di ketinggian 3-8 km justru memiliki tekanan udara lebih tinggi dibanding lapisan di bawahnya, hingga membentuk 'sungkup' tekanan.
Sebagai akibatnya udara yang mengalir turun justru menghangat dan mengering secara adiabatis. Sehingga menghambat sirkulasi udara dan menghalangi pembentukan awan. Sangat kurangnya jumlah awan di daerah itu menyebabkan sinar Matahari langsung menerpa paras Bumi, sehingga suhu udara lebih hangat lagi.
"Saat udara lebih hangat, maka tekanannya lebih kecil. Hal ini berakibat pada berhembusnya angin permukaan yang lebih hangat dan kering dari kawasan gurun menuju kawasan tersebut. Kombinasi ketiga faktor inilah yang menghasilkan gelombang panas," terangnya.