Fenomena Hacker Bjorka, Siber Ansor: Benahi Keamanan Siber Negara
Ahad, 18 September 2022 | 10:00 WIB
Ilustrasi. Tindakan peretasan oleh Bjorka terhadap data-data pejabat negara menunjukkan keamanan siber di Indonesia lemah.
Jakarta, NU Online
Kasus kebocoran data kian marak dalam beberapa waktu terakhir, salah satunya yang dilakukan oleh peretas dengan identitas Bjorka. Menanggapi hal ini Sekretaris Badan Siber Ansor, M. Mabrur L. Banuna mengatakan, munculnya peretasan ini menjadi domain negara di mana negara harus membenahi keamanan siber.
Jadi gerakan digitalisasi yang masif dilakukan oleh negara harus diimbangi dengan gerakan keamanan siber. Dari segi mandat Undang-undang, badan sandi siber negara (BSSN) harus melakukan proteksi siber terhadap data pribadi tiap individu.
“Karena kita banyak mengirim data ke pihak ke tiga seperti peduli lindungi, online shop, BPJS semua itu harus dipastikan keamanan aplikasinya dan harus bersih dari serangan hacker itu yang bertanggung jawab jelas negara,” kata Mabrur kepada NU Online, Sabtu (18/9/2022).
Fenomena Bjorka, kata dia, juga berhubungan dengan lemahnya sistem sekuriti siber aplikasi dan website yang dikelola pemerintah.
“Kalau dari segi pengetahuan peretasan yang dilakukan para hacker itu tidak terlalu signifikan karena belum memasuki tahap yang paling dalam melakukan peretasan. Ini memang sistem siber di pemerintahan saja baik instansi maupun lembaga yang masih lemah,” tuturnya.
Ia mencontohkan peretasan yang terjadi pada akun twitter TNI Angkatan Darat beberapa waktu lalu menandakan bahwa sistem keamanan siber di Indonesia lemah.
“Beberapa waktu lalu akun twitter TNI AD diretas oleh orang dan belum dikembalikan, sudah 6 hari berada di bawah penguasaan orang lain ini sudah memperlihatkan bagaimana lemahnya sistem keamanan siber kita,” bebernya.
“Saya kira memang BSSN ini harus bertanggung jawab sesuai amanat Undang-undang tentang pembentukan BSSN adalah melindungi sistem keamanan siber di negara kita,” lanjutnya.
Sementara itu untuk menangani kebocoran data menurutnya perlu regulasi khusus terkait dengan Undang-undang keamanan dan pertahanan siber yang melibatkan lintas stakeholder. Jadi bukan hanya leading sector di BSSN tapi juga harus ada pelibatan di badan intelijen negara (BIN), TNI, kepolisian, dan Kominfo.
“Saat ini kan regulasi masih sektoral jadi misalnya di BSSN dan Kominfo punya regulasi sendiri sementara regulasi payung hukum yang lebih besar itu belum ada sehinga dibutuhkan regulasi yang kuat dulu sebagai landasan. Kemudian terkait dengan implementasinya nanti akan dijelaskan secara teknis dengan melibatkan lintas sektor itu,” terang pria asal Makassar ini.
Negara juga diharapkan mampu merangkul para hacker untuk membantu penguatan sistem keamanan siber di lingkungan pemerintah Indonesia dengan melakukan pendekatan persuasif. Pasalnya para hacker ini dinilai memiliki potensi, baik secara jenjang akademis maupun otodidak namun belum tampak dipermukaan.
“Negara tidak boleh memusuhi hacker, mereka harus dirangkul, diberikan pembinaan, komunikasi secara persuasif karena namanya hacker semakin ditantang kadang semakin berulah kita lihat sendiri Bjorka semakin ditantang semakin membocorkan data pribadi pejabat kita. Saya kira negara punya akses untuk itu,” ungkap Mabrur.
Kontributor: Suci Amaliyah
Editor: Fathoni Ahmad