Festival HAM 2023 di Singkawang: Menarikan Keragaman, Menyanyikan Persatuan
Rabu, 18 Oktober 2023 | 13:30 WIB
pertunjukan tari keberagaman di Singkawang, Kalimantan Barat, Selasa (17/10/2023). (Foto: NU Online/Syakir)
Singkawang, NU Online
Bocah perempuan itu tampak begitu kenes melenggak-lenggok. Tangannya amat lentur sembari tak lupa menyunggingkan senyum. Ia berhasil mencuri pandang ratusan pasang mata di hadapannya. Lensa kamera juga tak henti-henti mengikuti gerak-geriknya. Tak ada paras wajah gelisah. Tiada pula lenggang yang gamang. Ia demikian percaya diri menari.
Ia tak sendiri. Bocah yang tampaknya masih duduk di bangku TK atau SD kelas pertama itu menari bersama puluhan orang lainnya yang lintas usia, beda etnis, beragam suku. Dengan ragam pakaian adat pula, mereka mempertontonkan suatu penampilan kolosal yang menunjukkan Bhinneka Tunggal Ika.
Penampilan yang demikian ciamik itu dimainkan pada Upacara Pembukaan Festival HAM 2023 di Balai Kota Singkawang, Kalimantan Barat, Selasa (17/10/2023).
Pertunjukan itu diawali dengan kehadiran enam penari berpakaian ala Tionghoa. Nuansa Chinese makin terasa dengan iringan musik dari Negeri Tirai Bambu itu. Kemudian, menyusul penari dengan pakaian adat Dayak.
Dengan tameng dan senjata di tangan, mereka mempertontonkan penampilan yang mengesankan. Setelah itu, datang lagi enam orang penari dengan pakaian ala Melayu dengan rebana di tangan. Tariannya juga diiringi instrumen musik Melayu yang penuh kemeriahan.
Tiga suku dan etnis itu merupakan penduduk mayoritas di Singkawang. Tiga entitas ini diistilahkan dengan Tidayu, sebuah akronim dari Tionghoa, Dayak, dan Melayu. Singkawang ini semula menjadi bagian dari Kabupaten Sambas sebelum kemudian berdiri sendiri sebagai kota administratif.
Menurut penuturan Yudi, seorang pemandu wisata, Sambas juga memiliki arti yang serupa dengan Tidayu. Sambas berasal dari bahasa Tionghoa, Sam yang berarti tiga dan Bas berarti suku. Sambas dapat diartikan sebagai tiga entitas suku yang hidup dalam satu wilayah yang sama.
Hal tersebut menunjukkan keragaman bukanlah hal baru bagi Singkawang. Sejak dulunya, keragaman menjadi sebuah keniscayaan yang dirayakan. Tak pelak, masyarakat Singkawang dengan penuh senyum menarikan keragaman itu pada perayaan HUT Ke-22 kota kebanggaannya yang dalam penelitian SETARA Institute menempati kota peringkat pertama dengan indeks toleransinya terbaik di Indonesia.
Setelah tiga suku itu maju, barulah kemudian ada serombongan penari dengan pakaian ala TNI dengan membawa Bendera Merah Putih dan penari lain dengan bendera di tangan mereka. Lalu, diikuti oleh penari anak-anak dengan mengenakan beragam pakaian adat. Mereka datang dari sisi kanan kiri lapangan balai kota. Ada pula penari dewasa dengan pakaian yang sangat meriah.
Karena keragaman pakaian adat itu juga, musik yang mengiringi pun berasal dari berbagai daerah, mulai dari wilayah Barat Indonesia sampai wilayah Timur, antara lain Suwe Ora Jamu dari Jawa, lagu Ondel-Ondel dari Betawi, hingga lagu Yamko Rambe Yamko dari Papua.
Sebelum mereka kembali ke tempatnya masing-masing, tarian itu ditutup dengan lagu Dari Sabang Sampai Merauke. Lagu tersebut tidak sekadar instrumen yang mengiringi tarian, tetapi juga dinyanyikan oleh penari-penari kecil sembari bergandengan tangan.
“Dari Sabang sampai Merauke, berjajar pulau-pulau. Sambung-menyambung menjadi satu itulah Indonesia. Indonesia tanah airku aku berjanji padamu. Menjunjung tanah airku. Tanah airku Indonesia,” demikian mereka menyanyikan lagu karya R Suharjo itu.
Hal tersebut bukan hanya dinyanyikan oleh Singkawang. Mereka juga menunjukkan kebersatuan tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Perbedaan agama dan suku tidak menjadi soal dalam keberindonesiaan masyarakat Singkawang. Misalnya saja keberadaan Vihara Tri Dharma Bumi Raya yang lokasinya berdekatan dengan Masjid Raya Singkawang.
Hal tersebut juga tampak di dalam Choi Pan Kawasan Tradisional yang dikelola oleh keluarga Thjia. Bukan saja nikmat Choi Pan yang bisa dirasakan saat menjajal makanan itu di Cagar Budaya Rumah Keluarga Tjhia itu, tetapi juga nuansa keindonesiaan dan toleransinya terasa.
Pasalnya, di rumah kayu yang dibangun sejak tahun 1902 itu terdapat pekong, tempat peribadatan bagi Khonghucu. Sementara di tempat makan Choi Pan sendiri, ada salib dan ayat Alkitab yang terpajang, dengan gundam dan Lufi yang terpampang di lemarinya. Pun, pelanggan yang datang di sana akan dilayani oleh pramusaji berkerudung.
Tak aneh jika Singkawang mendapatkan predikat kota dengan indeks toleransi tertinggi. Festival HAM 2023 di Kota Seribu Kelenteng ini betul-betul menarikan keragaman dan menyanyikan persatuan.