Daerah

Momentum Halal Bihalal, Pengasuh Pesantren Tebuireng Serukan Politik Persatuan

Rabu, 3 Mei 2023 | 08:00 WIB

Momentum Halal Bihalal, Pengasuh Pesantren Tebuireng Serukan Politik Persatuan

Pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng KH Abdul Hakim Mahfud (Gus Kikin). (Foto: Dok. Pesantren Tebuireng)

Jombang, NU Online

Momentum tahun politik sudah dimulai. Namun, dalam suasana masih Syawal, Pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng KH Abdul Hakim Mahfud (Gus Kikin) mendorong seluruh elemen anak bangsa mendahulukan persatuan bangsa di atas politik kekuasaan melalui kegiatan halal bihalal yang menuntut kelapangan dada.


Beberapa waktu terakhir, banyak tokoh politik yang melakukan halal bihalal dengan kolega, koalisi hingga pendukung di berbagai daerah. Dalam pertemuan tersebut tak jarang membahas politik kekuasaan.


“Jangan bertikai dan pecah belah. Gus Dur juga membangun kekuatan politik untuk persatuan. Tidak hanya menjelang 2024, setiap saat kita harus membangun persatuan. Ini perintah agama,” jelas Gus Kikin, Selasa (02/5/2023).


Gus Kikin menyampaikan hal tersebut karena melihat fakta beberapa tahun terakhir terjadi gesekan cukup keras di antara anak bangsa karena politik kekuasaan.


Polarisasi sejak pilpres hingga pemilihan kepala daerah membuat masyarakat bersitegang di akar rumput. Sebuah peristiwa pesta demokrasi yang seharusnya dilakukan dengan baik, malah meninggalkan luka mendalam.


“Dulu orang-orang juga berpolitik, tapi semangat untuk tetap bersatu itu masih ada. Sekarang mulai berubah. Ketika masuk ke politik, mulai bermusuhan dengan yang lain. Itu yang tidak boleh,” imbuhnya.


Gus Kikin meminta aktor politik, akademisi, pengusaha, dan seluruh anak bangsa meniru gaya berpolitik kebangsaan KH Muhammad Hasyim Asy’ari yang berusaha keras menyatukan elemen anak bangsa.


KH Hasyim Asy'ari sejak dulu berpikir bagaimana mendamaikan anak bangsa dari perpecahan. Hal tersebut ditiru oleh KH Wahid Hasyim, KH Abdul Wahab Chasbullah, KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), tokoh Nahdlatul Ulama, dan tokoh Tebuireng lainnya.


Di era penjajahan, KH Hasyim Asy’ari berani bersikap terhadap Belanda untuk kebaikan. Bagi Mbah Hasyim, penjajahan itu zalim. Sikap ini bukan niatnya ingin jadi presiden atau penguasa setelah merdeka. 


“Makanya beliau menyatukan elemen bangsa ini. Indonesia merdeka melalui perjalanan panjang. Kemerdekaan Indonesia sah secara syariat. Hingga wafatnya Kiai Hasyim 1947, ia masih memantau dan memberikan komando perlawanan untuk mempertahankan kemerdekaan,” ceritanya.


Dikatakan Gus Kikin, dasar yang digunakan dalam berpolitik yaitu syariat, bukan keinginan menang semata. Dipertimbangkan manfaat dan kerugiannya.


Seruan menjaga persatuan tersebut menurut Gus Kikin bukan hanya satu golongan, tapi untuk semua warga negara Indonesia. 


Dikarenakan semua warga negara punya hak dan kewajiban untuk berpolitik, tapi sebagai warga bangsa semua juga punya kewajiban membangun ukhuwah atau persatuan warga bangsa. Ukhuwah harus lebih tinggi dari berpolitik kekuasaan.


Dalam bahasa lain, setiap warga negara punya hak dan kewajiban untuk mengatur negara lewat politik. Kalau anak bangsa tidak mau berpolitik siapa yang mengatur negara nantinya. 


“Kita harus berpolitik, ini negara kita. Kita yang atur. Hanya saja jangan sampai momentum politik lima tahunan mengganggu persatuan yang sudah ada. Tetap berpolitik, tetap bersatu,” tandas Gus Kikin.


Kontributor: Syarif Abdurrahman

Editor: Fathoni Ahmad