Nasional

Guru Besar IPB Soroti Nasib Petani Kecil dan Anomali Kebijakan Pangan Pemerintah

Selasa, 30 September 2025 | 20:30 WIB

Guru Besar IPB Soroti Nasib Petani Kecil dan Anomali Kebijakan Pangan Pemerintah

Guru Besar Fakultas Pertanian IPB University, Prof Dwi Andreas Santosa (kemeja hitam). (Foto: NU Online/Fathur)

Jakarta, NU Online 

Guru Besar Fakultas Pertanian IPB University, Prof Dwi Andreas Santosa menilai kedaulatan pangan nasional tidak akan tercapai tanpa keberpihakan pada petani kecil. 


Menurutnya, meski 70 persen pangan Indonesia diproduksi oleh petani keluarga, kebijakan pemerintah justru belum sepenuhnya memberikan ruang yang adil bagi mereka.


Dalam paparannya, Andreas menegaskan perlunya menggeser orientasi pembangunan pertanian ke arah petani keluarga.


“Seperti disampaikan tadi, 70 persen pangan diproduksi oleh petani kecil. Karena itu, kita harus mendorong kebijakan yang benar-benar berpihak pada mereka,” katanya di Menteng, Jakarta, Selasa (30/9/2025).


Ia juga menyoroti istilah “petani gurem” yang selama ini dipakai dalam rilis resmi pemerintah dalam hal ini oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Menurutnya, istilah tersebut merendahkan karena identik dengan parasit pada ayam. 


“Saya pernah protes, jangan gunakan istilah itu. Gurem itu parasit, kecil tapi menyakitkan. Kenapa petani kecil harus disamakan dengan parasit?” ujarnya.


Andreas menambahkan, istilah tersebut akhirnya direvisi oleh Badan Pusat Statistik (BPS) dengan menyebutnya sebagai “petani skala kecil”. Ia menilai perubahan bahasa ini penting untuk menunjukkan penghargaan kepada petani yang justru menjadi tulang punggung pangan nasional.


Harga Lebih Penting daripada Bantuan

Menurut Andreas, petani tidak terlalu membutuhkan bantuan langsung pemerintah. Yang lebih penting bagi mereka adalah kepastian harga yang adil di tingkat produsen.


“Kalau ditanya ke sekolah-sekolah petani kami, apakah perlu bantuan? Jawaban mereka tidak. Yang paling penting adalah harga yang baik di tingkat petani,” jelasnya.


Ia mengungkapkan, biaya produksi yang ditanggung petani sebenarnya relatif kecil. Pengeluaran untuk benih, misalnya, hanya sekitar 2 persen, sedangkan pupuk 4–5 persen. Karena itu, klaim pemerintah soal besarnya anggaran bantuan bagi petani dinilai belum menyentuh persoalan pokok.


Andreas menyoroti fenomena kenaikan harga beras yang terjadi sepanjang tahun meski pemerintah mengumumkan stok beras dalam jumlah besar. 


“Sejak Januari sampai sekarang, harga beras tidak pernah turun, padahal pemerintah menyatakan stok mencapai 43 juta ton, terbesar dalam sejarah. Ini anomali,” katanya.


Ia juga menyinggung upaya pemerintah yang sempat memaksa perusahaan membeli gabah di harga Rp6.500 per kilogram. Padahal, harga gabah di lapangan sudah berada di kisaran Rp7.000–7.500. Kebijakan tersebut dinilai kontraproduktif karena merugikan petani.


“Waktu itu sempat ada edaran agar perusahaan membeli gabah di Rp6.500. Padahal harga sudah naik jauh di atas itu. Akhirnya kebijakan itu tidak berjalan efektif,” ungkapnya.


Andreas menegaskan, keberpihakan pada petani kecil dan perbaikan tata kelola pangan harus menjadi prioritas. Ia menilai kedaulatan pangan tidak bisa hanya diukur dari tingginya produksi, tetapi juga dari sejauh mana petani mendapatkan harga yang layak dan konsumen memperoleh pangan dengan harga terjangkau.


“Pembangunan pertanian harus diarahkan ke petani kecil. Itulah jalan menuju kedaulatan pangan yang sesungguhnya,” pungkasnya.