Guru Besar UIN Surabaya: Tidak Ada Kontroversi dalam SE Menag 5/2022
Kamis, 3 Maret 2022 | 18:00 WIB
Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Ampel Surabaya, Jawa Timur, Prof Ahmad Zainul Hamdi. (Foto: media sosial UIN Sunan Ampel Surabaya).
Jakarta, NU Online
Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Ampel Surabaya, Jawa Timur, Prof Ahmad Zainul Hamdi menjelaskan bahwa tidak ada kontroversi di dalam Surat Edaran Menteri Agama (SE Menag) Nomor 5 Tahun 2022 Tentang Pedoman Penggunaan Pengeras Suara Masjid dan Mushala.
Kontroversi yang terjadi di ruang publik selama ini terfokus pada larangan azan. Inilah wacana populer publik yang diolah sehingga menjadi kontroversi. Padahal menurutnya, SE Menag itu hanya mengatur volume dan durasi penggunaan pengeras suara di masjid dan mushala, bukan mengatur tentang adzan.
“Di dalam SE Menag itu justru ada satu klausul yang berbentuk satu kalimat mutlak, karena tidak ada penjelasan apa pun tentang azan. (Kalimat itu) pengumandangan adzan menggunakan pengeras suara luar,” kata Inung, sapaan akrabnya, dalam diskusi bersama Jaringan Gusdurian bertajuk ‘Islam Kaset dan Kebisingannya’ di fitur Space Twitter, Rabu (2/3/2022) malam.
Ia bahkan menyebut telah terjadi distorsi informasi yang sangat jauh dari substansi isi SE Menag itu dengan kontroversi di ruang publik. Seakan-akan SE Menag mengatur soal pelarangan adzan menggunakan pengeras suara masjid dan mushala.
“Padahal sama sekali tidak. Yang diatur adalah penggunaan pengeras suara di luar adzan (seperti) untuk ceramah, tarhim, shalawatan, menyiarkan atau memperkeras suara qiraah. Sementara tentang adzan itu sendiri, ada satu klausul yang sangat jelas,” katanya.
Kontroversi lain terjadi dari pernyataan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas yang seolah-olah menyamakan antara lantunan adzan atau suara-suara yang biasa diperdengarkan melalui menggunakan toa dari masjid dan mushala dengan gonggongan anjing.
“Menurut saya, ini jelas-jelas pelintiran yang menyesatkan,” tegas Inung.
Ia kemudian memberikan dan membuat contoh logika analogi. Premis mayor berbunyi bahwa setiap kebisingan atau noise pollution itu mengganggu. Sementara premis minornya adalah penggunaan pengeras suara yang berlebihan baik dalam konteks durasi maupun volume, mengganggu. Karena itu adalah kebisingan.
“Kesimpulannya, kebisingan itu mengganggu. Begitu kalau kita mau menggunakan logika formalnya. Keriuhan terjadi karena ada pelintiran yang menilai Menag menyamakan suara adzan dengan gonggongan anjing. Logika ini jauh sekali,” jelasnya.
“Ketika akal sehat masih berjalan dengan baik, orang sebenarnya tidak memerlukan terdidik sampai sarjana untuk memahami bahwa permasalahan sebenarnya adalah soal kebisingan,” pungkas Inung.
Sebelumnya, Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol) Universitas Gadjah Mada Yogyakarta Abdul Gaffar Karim mengatakan bahwa semua urusan publik, termasuk kebisingan di ruang publik, harus diatur oleh negara atau pemerintah.
Aturan mengenai kebisingan itu telah diterapkan di beberapa negara modern seperti Australia, Inggris, dan Amerika yang saat ini telah memiliki peraturan soal kontrol kebisingan.
Pewarta: Aru Lego Triono
Editor: Syakir NF