Gus Hilmy Ajak Santri Teladani Kepahlawanan Mbah Hasyim dan Sri Sultan
Sabtu, 13 November 2021 | 09:00 WIB
Anggota DPD RI H Hilmy Muhammad (tengah) sedang mensosialisasikan 4 Pilar MPR RI di Yogyakarta. (Foto: Dok. Pesantren Krapyak)
Yogyakarta, NU Online
Sebelum pertempuran 10 November 1945 pecah, Hadratussyekh KH M Hasyim Asy’ari menyerukan Resolusi Jihad untuk melawan penjajah. Pertempuran dengan semangat tentara rakyat yang membara itu kemudian menginspirasi pertempuran-pertempuran lain di berbagai daerah. Di antaranya, Yogyakarta dengan Serangan Umum 1 Maret 1949 yang disokong Sri Sultan Hamengku Buwono IX.
Anggota DPD RI H Hilmy Muhammad mengatakan hal tersebut dalam Sosialisasi 4 Pilar MPR RI sekaligus Peringatan Hari Pahlawan Nasional bertema Mencintai Tanah Air, Meneladani Pahlawan Bangsa di Kompleks Nurussalam Pesantren Al-Munawwir Krapyak Yogyakarta, Jumat (12/11/2021).
“Keduanya dalam konteks berbeda, berjuang melawan penjajah dari bilik-bilik berbeda. Hadratussyekh seorang kiai, dan Sri Sultan Hamengku Buwono IX seorang raja. Dalam peran masing-masing, beliau berdua merupakan tokoh yang patut kita teladani,” kata Gus Hilmy, sapaan akrabnya, dalam rilis yang dikirimkan kepada NU Online, Sabtu (13/11).
Kedua tokoh itu, lanjut Gus Hilmy, menunjukkan bahwa perjuangan tidak selalu berkait erat dengan pertempuran dan unjuk senjata. Jika KH Hasyim Asy’ari berjuang di ranah agama, maka Sri Sultan HB IX di arena perundingan, strategi politik, dan negosiasi.
Dalam konteks yang berbeda, Gus Hilmy menyebut pejuang lain di bidang seni, yaitu Usmar Ismail. Beliau adalah Bapak Perfilman Indonesia, pendiri, dan ketua Lembaga Seniman dan Budayawan Muslimin Indonesia (Lesbumi), yang juga pernah menjadi anggota DPR.
“Pemerintah menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada beliau atas kiprah dan sepak terjangnya dalam memajukan perfilman di Indonesia setelah 50 tahun beliau wafat,” ujar salah seorang Pengasuh Pesantren Krapyak Yogyakarta ini.
Menurut Gus Hilmy, semuanya berusaha dengan sungguh-sungguh dalam peran dan bidangnya masing-masing dilandasi rasa cinta terhadap kebaikan bangsanya. Mereka sama sekali tidak pernah berpikir akan mendapatkan gelar kepahlawanan itu. Karena bagi mereka adalah bisa melakukan sesuatu yang baik dan bermanfaat.
“Berjuang bisa dengan berbagai media atau sarana. Terpenting, semuanya dilakukan karena cinta Tanah Air. Apapun yang namanya cinta, harus diikuti sikap patuh dan taat. Cinta juga mengharuskan orang untuk peduli dan mau berkorban,” ujarnya.
“Bentuknya bisa macam-macam. Membela, melawan, menjaga, merawat dan lain-lain, yang menunjukkan hal itu sebagai bukti dari cinta,” sambung Senator asal Yogyakarta tersebut.
Agar santri menjadi pahlawan untuk konteks hari ini, Gus Hilmy menyatakan tidak masalah santri memiliki keinginan atau cita-cita menjadi apa saja. Intinya, berusaha agar senantiasa bermanfaat bagi yang lain, bagi lingkungan, dan semesta alam.
“Kebermanfaatan itu akan menjadi karya, dan manusia akan dikenang karena karyanya,” cucu Rais ‘Aam Syuriyah PBNU periode 1980-1984 KH Ali Maksum ini.
Hadir dalam kesempatan tersebut, Pengasuh Pesantren Al Munawwir Krapyak Yogyakarta KH Fairuzi Afiq Dalhar, Dosen Fakultas Ushuludin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Dr H Rifqi Muhammad Fatkhi, dan Ketua PW Fatayat NU DIY Khotimatul Khusna.
Ketiga pembicara tersebut menyampaikan keteladanan para tokoh atau pahlawan dalam perspektif masing-masing. Kiai Fairuzi, misalnya, menyatakan bahwa kecintaan kepada Tanah Air sudah dicontohkan Nabi Muhammad saw.
Sementara untuk pahlawan-pahlawan perempuan dari masa lalu hingga kini diungkap oleh Khotimatul Khusna. Menurut dia, masyarakat jangan hanya melihat bahwa pahlawan adalah mereka yang mengangkat senjata yang didominasi oleh lelaki. Selain mereka, banyak pula tokoh perempuan yang menjadi pahlawan meski belum mendapatkan pengakuan dari negara.
Pembicara penutup, Kiai Rifki M Fatkhi kembali menyebut pahlawan lainnya, yaitu KH A Wahab Chasbullah. Menurut dia, jika ada Bapak Pendidikan, Bapak Pembangunan, Bapak Perfilman, maka Mbah Wahab merupakan Bapak atau Ulama Peradaban.
“Bersama Mbah Hasyim Asyari dan kiai-kiai lain seangkatannya, mereka membangun peradaban sangat besar bernama Nahdlatul Ulama (NU). Salah satu pemikiran beliau adalah memunculkan kembali Hubbul Wathan Minal Iman (cinta Tanah Air sebagian dari iman),” pungkasnya.
Editor: Musthofa Asrori