Gus Nadir Ungkap Strategi Ciptakan Kemandirian Ekonomi NU
Jumat, 26 November 2021 | 09:45 WIB
Jakarta, NU Online
Rais Syuriyah Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama (PCINU) KH Nadirsyah Hosen atau Gus Nadir mengungkap berbagai cara untuk menciptakan kemandirian NU di bidang ekonomi. Salah satunya melalui iuran anggota. Kemandirian NU ini harus diwujudkan menuju abad kedua.
“Harus ada iuran anggota. Organisasi yang besar seperti NU tetapi tidak ada iuran anggota itu sukar sekali dibayangkan,” katanya dalam Webinar Pra-Muktamar ‘Proyeksi Kemandirian NU Menuju Abad Kedua’, pada Kamis (25/11/2021).
Padahal, kata Gus Nadir, anggota NU saat ini banyak yang menjadi pejabat di pemerintahan yang dapat diminta untuk membayar iuran. Bila perlu, dibuat satu sistem keuangan yang bisa langsung memotong gaji, lalu masuk ke rekening NU.
Secara hitungan kasar, jika NU memiliki jumlah anggota sebanyak 100 juta lalu melakukan iuran Rp1000 per hari maka dalam satu bulan total uang yang dimiliki NU adalah Rp100 miliar. Dengan begitu, NU tidak perlu lagi membuat dan berkirim proposal ke perusahaan-perusahaan yang saat ini menjadi mitra.
“Ini luar biasa kemampuan kita mengelola ini. Jadi bukan pengurusnya yang mandiri dan kaya, tetapi NU-nya. Kalau NU yang kaya, otomatis pengurus dan warga ikut kaya,” terang Gus Nadir.
Dari Rp100 miliar per bulan itu, Gus Nadir membayangkan NU bisa mendirikan Gedung Aswaja Center di lima pulau yakni di Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua. Di dalam gedung tersebut akan ada perpustakaan dengan tiga atau empat lantai, ruang seminar, dan ruang kelas untuk berbagai pelatihan.
“(Di antaranya) pelatihan UKM (unit kecil dan menengah), pelatihan konten digital, pelatihan Dai Aswaja. Lalu akan ada pemancar radio dan stasiun televisi. Ada juga percetakan dan penerbit, museum dan galeri NU. Intinya, industri itu bisa terkoneksi dengan komunitas,” jelasnya.
Contoh praktis kemandirian ekonomi
Selanjutnya, Gus Nadir menjelaskan contoh-contoh praktis menciptakan kemandirian ekonomi. Jika jumlah anggota NU secara konkret berjumlah 100 juta orang dari 280 juta total penduduk Indonesia, maka itulah pangsa pasar NU yang sangat luas.
“(Jumlah anggota) ini sebuah modal yang luar biasa. Kita punya market, yang sementara orang lain mencari-cari market itu. Saya termasuk orang yang optimis bahwa kita punya kemandirian kalau melihat jumlah anggota NU sebagai market,” jelasnya.
Kemudian NU bisa mendata berbagai kebutuhan santri dan santriwati yang ada di pesantren-pesantren. Misalnya, mampu memproduksi jutaan pembalut, sarung, dan mukena untuk kebutuhan mereka. Sayangnya, selama ini bukan NU yang memproduksi itu semua.
“Begitu juga para pelajar Ma’arif atau pelajar NU, apa yang mereka butuhkan? Jadi pasarnya sudah ada. Misalnya percetakan buku, kalender, bendera di kalangan NU untuk memenuhi kebutuhan warga, itu kalau kita tangani sendiri luar biasa,” jelas Gus Nadir.
Gus Nadir mengaku memiliki seorang teman yang merupakan pimpinan LP Ma’arif NU di daerah. Setiap tahun ajaran baru dimulai, teman Gus Nadir itu dikerubungi para pengusaha lokal untuk mencetak buku, kalender, dan seragam. Kemudian pengusaha itu menghadiahi sebuah mobil mewah agar tetap mendapatkan proyek-proyek percetakan dari LP Ma’arif NU.
“Ini contoh bahwa selama ini kita baru pada level komisi. Kita sudah senang kalau yang mandiri itu pengurusnya. Padahal kalau kita sendiri yang mencetak buku-buku itu, dicetak langsung oleh NU dan disebarkan maka itu akan luar biasa,” terangnya.
“Begitu juga jualan kaus. Saya membayangkan kebutuhan anak-anak milenial sekarang, kita bisa jualan kaus dengan quote para kiai. Ini satu contoh bahwa ternyata masalah jualan kaus saja bisa menghasilkan kemandirian,” imbuh Gus Nadir.
Di era digital seperti sekarang ini, Gus Nadir juga mengungkapkan bahwa NU bisa membuat satu aplikasi dan memonetisasi media sosial. Youtuber Atta Halilintar, sebagai contoh, bisa semakin kaya-raya karena penghasilan dari adsense youtube. Kanal-kanal NU pun bisa melakukan itu.
Sebagai strategi kemandirian ekonomi melalui jalan kebudayaan, NU bisa membuat film animasi. Misalnya dengan menciptakan film animasi dari kisah para ulama Aswaja, wali songo, para kiai NU. Sembari menyebarluaskan pemahaman Aswaja, NU dapat mengambil keuntungan finansial.
Mars Syubbanul Wathan atau Ya Lal Wathan, kata Gus Nadir, juga bisa dimonetisasi dan dibuat menjadi nada sambung atau RBT. Setiap warga NU, misalnya, harus menggunakan nada sambung Ya Lal Wathan. Kemudian NU mendapatkan uang dari penggunaan RBT itu.
“Jadi memang harus bikin unit usaha. Sudah tidak zamannya lagi NU itu pengurusnya hanya dapat komisi. Tetapi level kita sekarang sudah bukan berada di tataran komisi itu. Kita yang harus punya unit usaha karena kita punya market terbesar. Kita yang harus menjadi pemegang saham terbesar dari perusahaan-perusahaan yang ada,” pungkas Gus Nadir.
Pewarta: Aru Lego Triono
Editor: Syamsul Arifin