Nasional

Gus Sholah: Proses Rekonsiliasi 1965 Diteruskan Tanpa Tuntut-menuntut

Jumat, 8 Mei 2015 | 04:53 WIB

Jombang, NU Online
Pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng KH Salahuddin Wahid atau Gus Sholah (73) mengalami suasana mencekam tahun 1960-an. Pada saat terjadi peristiwa G30S PKI, rumah orang tuanya di kawasan Matraman Jakarta Pusat menjadi pusat informasi sekaligus pusat komando NU.<>

“Apapun isu yang dikembangkan sekarang tidak akan mempengaruhi saya dan jutaan orang lainnya. Apalagi isu itu dilontarkan mereka yang tidak mengalami sendiri peristiwa itu,” kata Gus Sholah dalam diskusi buku butih Benturan NU-PKI 1948-1965 di gedung Yusuf Hasyim komplek Pondok Pesantren Tebuireng, Kamis (7/5). Hadir ketua tim penulis buku putih H Abdul Mun’im DZ.

Pernyataan disampaikan Gus Sholah menyusul berbagai aksi tuntutan beberapa aktivis HAM seperti ganti rugi ratusan juta rupiah untuk masing-masing korban hingga gugatan ke pengadilan internasional.

“Proses islah atau rekonsiliasi kita teruskan. Toh sekarang diskriminasi sudah tidak ada. Yang perlu kita pikirkan bagaimana ke depan hal itu tidak terulang lagi. Tapi kalau tuntut-menuntut ya tidak islah namanya,” kata Gus Sholah.

Abdul Mun’im DZ mengatakan, peristiwa 1965 tidak bisa dilihat secara anakronik. Kontek sejarah pada waktu itu harus dibaca dan dipahami secara utuh. Menurutnya, konflik horizontal yang terjadi pada tahun 1960-an merupakan kelanjutan dari peristiwa yang terjadi pada tahun-tahun sebelumya.

Dalam kesempatan itu Mun’im mengingatkan, beberapa pihak sengaja mendramatisi jumlah korban hingga mencapai satu juta orang lebih. ”Kalau jumlah korbannya sebanyak itu maka akan terjadi perubahan demografi yang luar biasa di Indonesia, dan itu tidak terjadi,” katanya.

Jumlah korban peristiwa 1960-an, kata Wakil Sekjen PBNU, juga tidak hanya dari kalangan PKI tetapi juga dari kalangan NU dan elemen bangsa lainnya yang terlibat dalam konflik horisontal. Masing-masing pihak menjadi pelaku sekaligus korban.

Buku putih Benturan NU-PKI mengekspos beberapa peristiwa di Jawa Timur, Jawa Tengah, Bali dan Medan terutama yang terkait dengan NU. Gus Sholah mengusulkan, penulisan buku putih dilanjutkan ke beberapa daerah di Kalimantan, Sulawesi dan Nusa Tenggara. Tidak hanya terkait NU, tetapi juga elemen bangsa lain yang telibat dalam peristiwa itu. (A. Khoirul Anam)


Terkait