Gus Ulil Sebut Fiqih Peradaban Fase Lanjutan Islam Nusantara
Rabu, 5 Oktober 2022 | 22:30 WIB
Ketua Lakpesdam PBNU KH Ulil Abshar Abdalla (Gus Ulil) saat berbicara pada Halaqah Fiqih Peradaban di Probolinggo, Jawa Timur. (Foto: YouTube Pondok Pesantren Nurul Jadid)
Jakarta, NU Online
Ketua Panitia Nasional Halaqah Fiqih Peradaban KH Ulil Abshar Abdalla (Gus Ulil) mengatakan bahwa antara Fiqih Peradaban dengan Islam Nusantara tidak terdapat kontradiksi. Karena sebetulnya Fikih Peradaban (fiqhul hadharah) merupakan fase lanjutan dari Islam Nusantara.
“Jika kita telaah, inti dari gagasan Islam Nusantara yaitu memberikan identitas terhadap praktik keislaman yang berkembang di kawasan Nusantara,” tutur Gus Ulil pada gelaran Halaqah Fiqih Peradaban bertema Fiqih Siyasah dan Tatanan Dunia Baru di Pesantren Nurul Jadid, Paiton, Probolinggo, Jawa Timur, Ahad (10/2/2022).
Ketua Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (Lakpesdam) PBNU ini mengatakan bahwa hingga sekarang di dalam percakapan global, pemeluk Islam yang berada di kawasan Melayu belum mendapat perhatian memadai.
“Tidak bisa diingkari bahwa Muslim di Kalimantan, Sulawesi, Thailand, Jawa, dan Asia Tenggara lainnya dianggap sebagai umat Muslim kelas dua,” ujar pengampu Ngaji Ihya Online ini dalam channel YouTube Pondok Pesantren Nurul Jadid dilihat NU Online, Selasa (4/10/2022) malam.
Ia menambahkan, Islam di kawasan tersebut dianggap tidak mengetahui Islam yang sebenarnya, karena bukan native speaker bahasa Arab. Oleh karena itu, Islam hanya diwakili oleh penduduk yang berbahasa Arab.
Persepsi tersebut, kata Gus Ulil, walau tidak diucapkan terus terang, namun ada dan tersirat di kalangan penduduk Timur Tengah atau orang-orang yang mengkaji Islam di Barat.
“Kajian Islam di Barat pun didominasi oleh Islam yang berkembang di kawasan Timur Tengah. Kawasan di luar Timur Tengah tidak dianggap terlalu penting karena ilmu yang berkembang di sana kualitasnya dianggap tidak sehebat Islam yang berkembang di Timteng,” paparnya.
Jika ditelaah bersama, jarang sekali ditemui pusat kajian Islam kawasan Melayu di sejumlah perguruan tinggi Timur Tengah. Universitas Al-Azhar sekalipun yang notabene menjadi mercusuar pendidikan Islam terpandang di dunia belum memiliki program studi khusus mengenai kajian Islam yang berkembang di Asia Tenggara.
Alasannya cukup mendasar, kawasan Asia yang tidak berbahasa Arab, pengetahuan Islam yang diproduksi di dalamnya dianggap memiliki kualitas kitab yang lebih rendah daripada kitab berbahasa Arab kebanyakan. Dan yang dianggap sebetul-betulnya kitab ialah kitab yang berbahasa Arab, Persi, atau Turki.
“Oleh karena itu, wacana Islam Nusantara ini tidak main-main. Islam Nusantara sebagai sebuah wacana memberi status yang jelas. Perlu diingat bahwa sesuatu yang tidak bernama tidak akan dikenali. Karena itu, memberi nama adalah tindakan yang penting sekali. Bahkan, dalam Islam ada perayaannya yaitu aqiqah, tindakan suci ketika menamai seorang anak,” terangnya.
Dapat dipahami bahwa wacana Islam Nusantara itu tujuan dasarnya mengangkat status Muslim di kawasan Melayu yang dulunya dianggap inferior menjadi lebih tinggi.
“Terhitung selama 10 tahun di era kepemimpinan Kiai Said Aqil Siroj, Islam Nusantara berhasil dikonsolidasikan. Baru fase selanjutnya adalah memperjuangkan model Islam yang berkembang di kawasan Nusantara ini masuk ke dalam percakapan global. Inilah yang dilakukan sekarang oleh Gus Yahya,” katanya.
Cetak ulama mufakkir
Gus Ulil mengatakan bahwa program Halaqah Fiqih Peradaban merupakan salah satu cara Ketua Umum PBNU KH Yahya Cholil Tsaquf (Gus Yahya) mencetak ulama mufakkir (pemikir) yang dapat mewakili Indonesia di dalam wacana Islam global.
Hal tersebut diungkapkan kembali oleh Gus Ulil bahwa NU sampai saat ini warga Nahdliyin belum bisa menghadirkan ulama yang statusnya setara dengan Dr Wahbah Zuhaily, Dr Said Ramadhan al-Buthi, atau Syaikh Abdullah bin Bayyah (Mauritania) di kancah internasional.
“Sebenarnya, salah satu faktor yang menjadi alasan mengapa Indonesia atau ulama Melayu saat ini belum hadir di wacana Islam global yaitu kurangnya terhadap penguasaan bahasa internasional. Boleh dikatakan bahwa bahasa Indonesia atau Melayu di dalam percakapan global stratanya masih di bawah kelas bahasa Arab dan Inggris,” terangnya.
Oleh karena itu, ulama yang tidak menguasai dua bahasa tersebut otomatis tidak terwakilkan pemikirannya dalam percakapan global. Padahal jika dilihat dari substansi keilmuan sebetulnya ulama Indonesia tidak kalah alim dengan ulama Timur Tengah.
“Sebut saja Kiai Maimoen Zubair, Kiai Sahal Mahfudh, Kiai Afifuddin Muhajir sebetulnya ketiganya tidak kalah keilmuannya dengan Dr Wahbah Zuhaily, Dr Said Ramadhan al-Buthi, atau Syaikh Abdullah bin Bayyah,” ungkapnya.
Gus Ulil mengutarakan bahwa Kiai Afifuddin Muhajir, yang duduk di sampingnya saat halaqoh, dari segi orisinilitas atau keaslian pemikiran, lebih maju dari Syekh Abdullah bin Bayyah. “Perbedaanya, Kiai Afif berbahasa Indonesia sedangkan Syaikh Abdullah bin Bayyah berbahasa Arab,” terang pria kelahiran Pati ini.
PBNU yang saat ini dinahkodai oleh KH Yahya Cholil Tsaquf, melalui Gus Ulil mengajak seluruh kiai di seluruh penjuru Nusantara untuk terlibat masif dalam percakapan ini.
“Sebetulnya Gus Yahya sengaja mengajak para kiai dan nyai untuk mengangkat isu ini agar percakapannya tidak didominasi dengan isu pilkada karena isu-isu pilkada ini meracuni banyak hal jika di luar batas. Oleh karena itu, mari kita membincang hal yang lebih substantif lagi,” tandasnya diiringi gelak tawa peserta halaqah.
Sebagai informasi, ujung dari halaqah yang memiliki 250 titik ini ialah Muktamar Internasional Fikih Peradaban yang akan berlangsung saat peringatan 1 Abad NU 16 Rajab 1444 H yang bertepatan 7 Februari 2023 dengan dihadiri para ulama Nusantara dan internasional.
Kontributor: A Rachmi Fauziah
Editor: Musthofa Asrori