Gus Yahya Ajak Ulama Internasional Bahas Piagam PBB dalam Pandangan Syariat
Ahad, 22 Januari 2023 | 12:30 WIB
Ketua Umum PBNU KH Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya) saat memberikan sambutan pada pertemuan pengantar untuk Muktamar Internasional Fiqih Peradaban di Hotel Indonesia Kempinski, Jakarta, Kamis (15/12/2022). (Foto: NU Online/Suwitno)
Kediri, NU Online
Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Yahya Cholil Staquf mengatakan bahwa para ulama Indonesia dan internasional harus membahas status piagam Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) dalam pandangan syariat.
Piagam PBB merupakan perjanjian politik di mana yang tanda tangan adalah kepala negara, bukan ulama. Perjanjian ini terjadi pascaperang dunia yang menelan korban cukup banyak.
Hal ini ia sampaikan dalam Halaqah Fiqih Peradaban di Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri, Jawa Timur, pada Sabtu (21/1/2023). Kegiatan ini dalam rangka menyambut puncak peringatan 1 abad Nahdlatul Ulama.
"Di dalam menjaga peradaban dunia, kita menemukan satu titik terang yang bisa kita gunakan yaitu piagam PBB sebagai konsensus internasional. Kita harus bahas bagaimana fiqih melihat ini. Biar kita punya pegangan yang kuat," jelasnya.
Menurutnya, isi piagam PBB ini secara umum ada dua hal yang utama. Pertama, perjanjian tentang batas negara yang tidak boleh dilanggar. Sebelumnya tidak ada batas negara.
Kedua, tentang Hak Asasi Manusia (HAM) universal. Setiap manusia setara dengan manusia lainnya, tanpa memandang agama, suku, budaya, dan lainnya. Perjanjian PBB ini mengikat negara dan warga.
"Di dalam Muktamar Fiqih Internasional kita akan angkat piagam PBB. Acaranya 6 Februari 2023. Mengundang ulama seluruh dunia. Mufti Mesir, Al-Azhar," imbuhnya.
Gus Yahya menjelaskan, pembahasan tentang fiqih peradaban ini penting karena diharapkan umat Islam memiliki landasan berpikir dan bertindak.
Fiqih yang diajarkan di kitab kuning saat ini masih menggunakan istilah lama dan jauh sebelum ada piagam PBB yang memuat tentang batasan negara dan HAM.
"Islam harus menemukan satu wawasan untuk menempatkan masalah ini dengan semestinya dengan kerangka pemahaman syar'iah sehingga kita bisa membangun perdamaian, jelas landasan syar'iyahnya. Tidak cuma seruan normatif yang abstrak," tegas kiai asal Rembang ini.
Bagi Gus Yahya, ada satu masalah besar yang sebetulnya telah bertahun-tahun digeluti, tapi tidak kunjung dapat jalan keluar. Masalah ketegangan antara realitas kehidupan dalam konteks sosial politik, baik secara domestik maupun internasional. Menurutnya, hal tersebut belum ada jalan keluar yang sungguh-sungguh bisa menyelesaikan masalah secara tuntas.
Ada ketegangan antara realitas kehidupan yang dialami umat Islam dengan wawasan keagamaan yang dimiliki.
"Kita dari kecil ngaji kitab isinya nyuruh perang, tapi tidak berani perang. Lalu kita cari alasan untuk boleh tidak perang. Hanya saja kita tidak kunjung menemukan alasan yang sungguh-sungguh bisa dijadikan pegangan yang kuat. Piagam PBB titik temunya," ungkapnya.
Alasan menjadikan piagam PBB sebagai titik pijak karena dibuat oleh pemimpin dunia dari berbagai latar belakang. Tinggal bagaimana syariat memandang hal ini.
Dikarenakan kecenderungan untuk terlibat dalam konflik melawan kelompok manapun yang dianggap berbeda itu bukan hanya Islam. Ini adalah kecenderungan umum, yang merata di semua kelompok agama.
Kalau Islam memandang kafir sebagai musuh, agama lain juga memandang bukan kelompoknya sebagai musuh. Perang dengan alasan agama bukan hanya terjadi antara Islam dan non-Muslim saja, tapi juga terjadi di non-Muslim dengan sesama non-Muslim. Kristen Katolik dan Protestan. Sama kayak di Islam ada perang Syiah dan Sunni.
Kalau di Islam ada istilah teroris, di agama lain juga adalah kelompok yang suka meneror. Dulu, ada teroris Yahudi dan Katolik di zaman Irlandia perang melawan Inggris.
Kalau di fiqih saat ini ada istilah kafir dzimmi, di kerajaan non Muslim juga ada istilah ini. Di Inggris yang agamanya Kristen Anglikan, itu kalau ada orang Irlandia yang beragama Katolik tinggal di Inggris maka dianggap dzimmi. Status DNA perlakuannya sama kayak kafir dzimmi di fiqih.
"Konflik ini jika diteruskan maka akan membawa akibat yang luar biasa, kehancuran besar dan runtuhnya peradaban," pungkasnya.
Kontributor: Syarif Abdurrahman
Editor: Syakir NF